Orang bijak berkata bahwa mimpi adalah 'bunga tidur'. Tapi ini mimpi buruk... Mimpi yang selalu menghantui ku ketika gundukkan keresahan menumpuk tinggi membayangi sisa-sisa keceriaan yang ada dalam diriku. Dan ini bukan mimpi yang lazim, bukan 'bunga-bunga indah berwarna cemerlang yang menghiasi kedamaian dunia mimpi', ini adalah cengraman jari-jari keresahan yang berkuku tajam. Dan ia memperdaya ku ketika aku tak lagi bisa mengingat kenyamanan yang biasanya didapat semua orang ketika terlelap dalam tidur yang melegakan. Aku hanya sendiri menggoda sunyi melewati cubitan centil temperatur malam yang semakin dingin ketika aku mengalami mimpi terjaga dan terjaga dalam mimpi...
Malam itu ketika terbangun, aku mendapati diriku berada di tengah hamparan padang kekosongan tak bertepi. Sejauh mata memandang dan sejauh hati merasa yang ku dapati hanyalah ketiadaan. Kabut kesia-siaan menutupi pandangan yang berusaha ku tajam kan tapi tatapan hanya mampu mencapai jarak hanya beberapa meter saja dalam keremangan yang mencekam. Sedangkan temperatur terasa dingin membekukan hati dan pikiran, membuat ragaku menggigil seakan-akan ratusan dementor malayang rendah di sekelilingku dan menguarkan kehampaan dan keputusasaan ke segenap penjuru. Kebahagiaanku menguap seakan terserap oleh wujud-wujud mengerikan itu dengan bunyi nafas berderik menjijikkan sekaligus menakutkan. Aku tersentak sadar dan bertanya tanpa suara, "Di mana aku?"
Aku terkejut takjub, nanar terpana, sekaligus bingung menatap kehampaan di sekelilingku. Tak ada sesuatu yang bisa dijadikan pegangan karena yang tampak hanya bentuk-bentuk gelap abstrak menakutkan yang terpola dari tumpukan antara kegelapan, ketakutan, dan ketidatahuan. Jadi aku hanya bisa meraba-raba gamang tanpa arah yang pasti kemana harus menuju. Namun instingku terus membisikkan perintah-perintah yang membuat ku semakin bingung. Dan intuisiku terkesiap menjaga setiap kemungkinan dalam ketiadaan ini. Jantung ku berdetak kencang dan meresahkan kedamaian jiwa. Dan nafas ku memburu tersengal seakan aku sudah berlari mengitari kesia-siaan sampai berpuluh putaran. Aku terpana dan bertanya-tanya. Aku jelas sedang tersesat antara kehampaan dan keputusasan yang menyedihkan.
Rasanya aku semakin sesak. Himpitan kegelisahanku sendiri membuat dadaku semakin tidak nyaman. Dan aku semakin tertatih dengan nafas berat yang gemerisik lirih seperti cicit tikus-tikus got pembawa herpes. Nafasku makin berat seolah organ-organ di dadaku berubah menjadi titanium yang membuatku tak lagi bisa berdiri tegap membusungkan dada. Aku bagai dililit ratusan benang-benang ketidakberdayaan yang meredupkan cahaya harapan yang tadinya masih bisa ku pertahankan untuk menuntun langkahku yg terseok. Aku kian letih, bingung dan putus asa. Ingin ku menangis agar bisa merasa lega, tapi tak ada air mata. Hanya kerutan-kerutan menyedihkan yang membuat tampangku semakin memprihatinkan.
"Apa yang terjadi dengan ku?"
Aku semakin bingung dan linglung. Tertatih di antara himpitan kabut pekat yang semakin padat. Menekan dan melilit jiwaku semakin erat, mengalirkan impuls-impuls perih tak terkira ke jaringan syarafku yang semakin rentan. Menyiksaku sedemikian ganas sehingga aku tersungkur dalam erangan kesendirian yang melengkapi kesakitanku.
"Apa ini?"
"Dimana aku?"
"Aku sudah tak sanggup lagi... Biarkan aku keluar dari sini!"
Tepat ketika gema rintihan jiwaku membahana dalam kehampaan itu berhenti, sebuah lubang besar tiba-tiba menganga tepat di mana aku berpijak tanpa keseibangan. Tak hayal lagi, aku pun luruh terjatuh tanpa kuasa untuk berpegang pada harapan yang selama ini ku banggakan. Jatuh dan terus terpuruk ke dalam lubang tak berdasar itu. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain berteriak, meronta, dan berdo'a, untuk akhirnya pasrah sambil terus berteriak panik. Tiba-tiba aku membuka mata yang tadinya spontan terpejam karena gravitasi menarik ku secara kejam ke kedalaman yang tak berujung. Wajah pucat bersimbah keringat dengan kengerian masih menggelayut ngeri di ronanya dan melilit erat pilar-pilar memori yang tercekam. Ku tarik diriku ke dalam kehangatan pelukan ku sendiri. Menggigil dalam temperatur ruang yang hangat dan semakin pengap. Kemudian aku menyadari... Nafas masih memburu dalam ketakutan, tapi aku berbisik lirih.
"Ah, untung hanya mimpi!!!"
Tapi kegelisahan itu tetap terasa nyata menyesakkan dan meringkuk nyaman di relung hatiku dengan perasaan nestapa. Aku terbangun mendapati diriku berada di tengah hamparan padang kekosongan... dan nelangsa.
Malam itu ketika terbangun, aku mendapati diriku berada di tengah hamparan padang kekosongan tak bertepi. Sejauh mata memandang dan sejauh hati merasa yang ku dapati hanyalah ketiadaan. Kabut kesia-siaan menutupi pandangan yang berusaha ku tajam kan tapi tatapan hanya mampu mencapai jarak hanya beberapa meter saja dalam keremangan yang mencekam. Sedangkan temperatur terasa dingin membekukan hati dan pikiran, membuat ragaku menggigil seakan-akan ratusan dementor malayang rendah di sekelilingku dan menguarkan kehampaan dan keputusasaan ke segenap penjuru. Kebahagiaanku menguap seakan terserap oleh wujud-wujud mengerikan itu dengan bunyi nafas berderik menjijikkan sekaligus menakutkan. Aku tersentak sadar dan bertanya tanpa suara, "Di mana aku?"
Aku terkejut takjub, nanar terpana, sekaligus bingung menatap kehampaan di sekelilingku. Tak ada sesuatu yang bisa dijadikan pegangan karena yang tampak hanya bentuk-bentuk gelap abstrak menakutkan yang terpola dari tumpukan antara kegelapan, ketakutan, dan ketidatahuan. Jadi aku hanya bisa meraba-raba gamang tanpa arah yang pasti kemana harus menuju. Namun instingku terus membisikkan perintah-perintah yang membuat ku semakin bingung. Dan intuisiku terkesiap menjaga setiap kemungkinan dalam ketiadaan ini. Jantung ku berdetak kencang dan meresahkan kedamaian jiwa. Dan nafas ku memburu tersengal seakan aku sudah berlari mengitari kesia-siaan sampai berpuluh putaran. Aku terpana dan bertanya-tanya. Aku jelas sedang tersesat antara kehampaan dan keputusasan yang menyedihkan.
Rasanya aku semakin sesak. Himpitan kegelisahanku sendiri membuat dadaku semakin tidak nyaman. Dan aku semakin tertatih dengan nafas berat yang gemerisik lirih seperti cicit tikus-tikus got pembawa herpes. Nafasku makin berat seolah organ-organ di dadaku berubah menjadi titanium yang membuatku tak lagi bisa berdiri tegap membusungkan dada. Aku bagai dililit ratusan benang-benang ketidakberdayaan yang meredupkan cahaya harapan yang tadinya masih bisa ku pertahankan untuk menuntun langkahku yg terseok. Aku kian letih, bingung dan putus asa. Ingin ku menangis agar bisa merasa lega, tapi tak ada air mata. Hanya kerutan-kerutan menyedihkan yang membuat tampangku semakin memprihatinkan.
"Apa yang terjadi dengan ku?"
Aku semakin bingung dan linglung. Tertatih di antara himpitan kabut pekat yang semakin padat. Menekan dan melilit jiwaku semakin erat, mengalirkan impuls-impuls perih tak terkira ke jaringan syarafku yang semakin rentan. Menyiksaku sedemikian ganas sehingga aku tersungkur dalam erangan kesendirian yang melengkapi kesakitanku.
"Apa ini?"
"Dimana aku?"
"Aku sudah tak sanggup lagi... Biarkan aku keluar dari sini!"
Tepat ketika gema rintihan jiwaku membahana dalam kehampaan itu berhenti, sebuah lubang besar tiba-tiba menganga tepat di mana aku berpijak tanpa keseibangan. Tak hayal lagi, aku pun luruh terjatuh tanpa kuasa untuk berpegang pada harapan yang selama ini ku banggakan. Jatuh dan terus terpuruk ke dalam lubang tak berdasar itu. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain berteriak, meronta, dan berdo'a, untuk akhirnya pasrah sambil terus berteriak panik. Tiba-tiba aku membuka mata yang tadinya spontan terpejam karena gravitasi menarik ku secara kejam ke kedalaman yang tak berujung. Wajah pucat bersimbah keringat dengan kengerian masih menggelayut ngeri di ronanya dan melilit erat pilar-pilar memori yang tercekam. Ku tarik diriku ke dalam kehangatan pelukan ku sendiri. Menggigil dalam temperatur ruang yang hangat dan semakin pengap. Kemudian aku menyadari... Nafas masih memburu dalam ketakutan, tapi aku berbisik lirih.
"Ah, untung hanya mimpi!!!"
Tapi kegelisahan itu tetap terasa nyata menyesakkan dan meringkuk nyaman di relung hatiku dengan perasaan nestapa. Aku terbangun mendapati diriku berada di tengah hamparan padang kekosongan... dan nelangsa.
SOCIALIZE IT →