
(Ebiet G. Ade)
Ruangan itu temaram dengan debu tipis yang mengapung di udara lembab beraroma amis darah penderitaan. Aku hanya mendapati diriku tiba-tiba berada di sana, terkurung di dalamnya tanpa pernah tau alasan yang masuk akal untuk keberadaanku dan keadaan ini. Mengapa? Aku masih bertanya-tanya pada batinku sendiri, dan meringkuk tak nyaman bertemankan jiwa-jiwa gelisah tanpa wujud yang meronta meminta pertolongan. Aku gemetar dalam empati berurai air mata keprihatinan sambil terus menggapai berusaha memeluk berjuta bayangan yang merintih sedih tanpa suara. Ku rentangkan tanganku menjangkau, tapi aku hanya mendekap kekosongan yang melilit erat tubuh fana ku nan kaku dan menggigil tersulut ngeri. Setiap rongga pori-pori di kulitku seakan berontak menjerit marah pada temperatur ruang yang minus pemahaman. Aku semakin kedinginan. Dan jelas lah, bahwasanya aku butuh pemgayoman dan pelukan hangat yang menentramkan.
Aku meringkuk sedih di sudut tergelap sejarah negeri, dengan hanya bermandikan seberkas sinar redup yang berhasil menerobos dari jeruji mimpi, menguarkan sedikit harapan yang semakin minim di ruangan ini. Kilasan-kilasan pemandangan miris seperti siluet di relung jiwa silih berganti menggoda empati, mengelitik kemanusiaan, dan memekarkan kuncup-kuncup persaudaraan di hamparan padang degradasi moral. Dan seperti telepati, aku bisa merasakan denyutan-denyutan perih luka fisik dan jeritan batin mereka yang terlara dihadang tragisnya bencana demi bencana. Detik-demi detik rasanya semakin pedih hingga membuat ku tak mampu lagi hanya berdiam terpaku di sudut gelap, di bawah bayang-bayang kehampaan ini.
Aku berdiri, mendapati diriku telanjang tanpa sehelai pun benang-benang mewah prestise yang selama ini menjadi perhiasan harga diri. Tanpa kepantasan yang selama ini menjadi topeng berukir senyum menawan yang melenakan insan-insan terkesan. Aku memandangi diriku dengan penuh malu bercermin pada jernihnya ombak besar -- yang mengguncang ketegaran, menghantam harapan dan menghanyutkan mimpi mereka -- yang memperlihatkan refleksi tubuh yang masih lengkap dan utuh. Berbeda jauh dengan keadaan mereka; hancur, remuk, penuh luka-luka menganga dan semakin perih dibasahi air asin yang tadinya menghanyutkan kebahagiaan mereka yang masih tersisa. Aku menarik selimut asap aerocluster yang panas namun lembut seperti wol impor yang menghantam hangus dan memporak-porandakan harapan mereka dari puncak merapi. Melingkarkan selimut awan bersuhu hingga 1000 derjat itu pada tubuh telanjangku yang menggigil tersulut dilema. Aku menuntun diriku meraup genangan banjir untuk membasuh muka, dan menggidik ngeri merasakan dinginnya terpaan air bah bercampur lumpur yang menyapu rata asa mereka. Kemudian berkaca pada bayangan ku sendiri. Kini aku akan begitu ikhlas mengulurkan tangan ku yang gemetar menarik paksa kekuatan maha dasyat alam yang telah menorehkan berjuta duka di hati mereka yang naif, dan ku jadikan bencana itu sebagai pakaian yang membuatku tampak anggun mengenakan pakaian elegan kemanusiaan. Dan lihat... Dalam keremangan sejarah kelam negeri ini, aku bangga menatap refleksi buram bayang-bayangku sendiri yang mengenakan pakaian moral seperti seorang abdi keraton yang dengan bangga mengemban tugas membela negri hingga kematian menjemputnya dengan bahagia.
Sekarang, aku menepis ragu menyeret kaki menembus keremangan dan melangkah pasti ke sisi yang ku yakni arah dan maknanya. Ku buka jendela hati dan membiarkan lebih banyak cahaya harapan menyinari kemurungan pertiwi. Ku tarik wajah ku ke dalam paparan terang cahaya siang yang masih diguyur hujan air mata semalam, menghirup udara basah dan mengumpulkan keberanian, Kemudian aku berteriak dengan suara bergetar penuh emosi;
"Oi... WAHAI KAU PETINGGI NEGERI, BERHENTILAH BERCILOTEH TAK PERLU, HENTIKAN PESTAPORAMU DI ATAS PENDERITAAN MEREKA. TELANJANGI DIRI DAN BERKACA PADA KEMALUANMU. LIHATLAH APA MASIH ADA NURANI DI HATIMU YANG BERBAU MUSLIHAT KEKUASAAN. DAN IKUTLAH MENANGIS BERSAMA MEREKA YANG TERPURUK KE DALAM LUMPUR KETIDAKBERDAYAAN. ATAU SETIDAKNYA BERI MEREKA PENGHIBURAN TULUS PELEPAS DAHAGA KEPEDULIAN!!! JANGAN KIANATI MEREKA, ATAU KAU MEMANG TAK PERNAH MALU MENGINGKARI JANJI SETIA YANG ENGKAU GOMBALKAN PADA KELUGUAN MEREKA AKAN MASA DEPAN YANG LEBIH BAIK?!!!"
Aku tersengal meraup udara sebanyak yang ku bisa setelah menumpahkan teriakan kemarahan, dan kembali menatap bayang-bayang hitam yang terbujur memanjang hingga ke sudut ruangan. Hingga ke pelosok yang nyaris tak tersentuh perubahan zaman. Seberkas cahaya yang tadi merisaukan kini tampak tak berarti lagi, seperti selubung kabut pagi yang menguap bersama hadirnya mentari. Dan betapa negeri ini akan menjadi ruang hidup benderang penuh aspirasi bagi jiwa-jiwa yang tadi berontak penuh prihatin terjangkiti ironi tragedi. Tangisan memilukan yang tadi bergema riuh memekakan gengsi di ruangan ini akan tetap riuh, berganti menjadi tawa-tawa riang anak negeri yang optimis menantang hari mengejar mimpi...
Dan bernyanyi;
"...mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang..."
Hingga saat itu tiba, aku akan menangis haru di bingkai jendela dunia menatap pesona tropis khatulitawa yang diam-diam selalu ku cinta.
Aku masih akan berdo'a dan bangga...
#PRAY FOR INDONESIA
Untuk korban bencana Wasior, Kep. Mentawai, dan Gunung Merapi. Serta untuk banyak jiwa yang telah hilang ke dalam keabadian karena berbagai bencana yang pernah terjadi di Indonesia. Semoga kalian semua sekarang penuh tawa mengantri dengan gembira di gerbang surga. (^.^)
Hope Indonesia will get through these horrible dissaster... There'll always be sunny days after every storm.
BalasHapus