Prolog: That was such an adventurous day to watch a presticious movie, Avatar... Sebuah kata yg jadi happening belakangan ini. Sebuah Motion Picture yg cukup breakthrough hasil garapan James Cameron (yg secara ajaib pernah menggulirkan kisah 'Titanic' nan romantis dan mengharukan, plus jadi everlasting romantic movie) menjadi asa yg masif untuk diwujudkan ketika itu. Desakan rasa penasaran menghantuiku akibat rayuan referensif media yg menggiurkan kini tak lagi terelakkan. Nah, berikut ini adalah sebuah pengalaman biasa yg luar biasa untuk dituturkan, mengingat bahwa perjalanan menuju 'Avatar' cukup menggelitik sisi kreatif jiwa puitisku untuk bernarasi...
Pagi itu, waktu terasa bergulir seperti biasa, lambat dan membosankan. Tapi hari tampak cerah dan menjanjikan siang yg terik, diilustrasikan oleh awan-awan tipis berwarna oranye yg kian menepi ke sudut biru cakrawala terjauh. Situasi kontrakan pun tetap secrawded biasanya, bak kapal bajak laut yg tak pernah tersentuh belaian prihatin kerapian. Kebiasaan bergadang sambil mengumbar pembicaraan renyah hingga fajar menyingsing akibat pengaruh insomnia musiman membuat aku dan teman-teman selalu terbangun didahului mentari pagi yg semburat di balik puncak gedung-gedung mewah di horizon timur. Sungguh nuansa pagi yg jauh berbeda dibanding gambaran indah yang lain, seperti kenangan lama ku di tanah kelahiranku dulu. Memang begitulah adanya, lain tempat lain pesona.
Tik tok tik tok.. Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 am. Ku kuatkan hati untuk mengangkat tubuh dari kasur yg sudah lecek termakan usia dan ketidakpedulian. Sungguh usaha yg berat mengingat aku baru tertidur beberapa jam. Ku kucek mataku yg perih sambil tetap pegangan ke dinding penuh coretan, hasil curhatan orang-orang yg pernah tinggal di sini sebelum kami, agar tidak terjengkang sebagai efek ketidakseimbangan akibat pusing berdiri tiba-tiba, sekaligus karena rasa kantuk yg masih mendera. Setelah memantapkan pijakan, ku layangkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ah, mereka masih terlelap dengan posisi dan ekspresi tidur yg unik; Onaz dengan posisi tidur andalannya membentuk huruf 'Z', Ayud yg berhasil melakukan pose tidur ala penganten baru memeluk Dobby, dan Dobby yg tertindih mantap dibawah kaki berukuran eksta milik Ayud sambil ngiler dan memamah biak (aduh, bunyinya lumayan menjijikkan). Melihat pemandangan aneh yg sudah tak asing ini aku tersenyum dan mulai bergerak membuka pintu menapaki terangnya pagi yg menerobos masuk dan telah mengeser sang malam ke belahan bumi lain. 'Ah, ini dia hari yg ku tunggu.. Avatar, negeri impian, I'll be there' pikirku sambil menggeliat dan mengirup udara pagi yang tak pernah segar di kota ini.
"Hoi, ga pada kerja? Dah siang nih. Banguuuun...!!!"
Hiruk pikuk pagi itu baru kentara setelah aku berhasil mendera Onaz, Ayud, dan Dobby yang terpaksa meraih kesadaran mereka dari pelukan sang mimpi. Dimulai dgn riuh rendah omelan, umpatan yang kurang pantas tapi biasa, dan sejumput kepanikan, mereka mulai melakukan persiapan pagi untuk menuju aktifitas rutin yg sudah menanti dengan setia. Namun seperti biasa, Ayud berhasil melontarkan kalimat rutinnya di pagi hari.
"Jam berapa sih..?"
Dan langsung kembali terkulai lelap utk kemudian bangun sangat kesiangan dengan kepanikan yg berlipat ganda membayangkan omelan pedas sang juragan di tempat kerja. Hmm.. Sungguh pagi biasa yang tidak biasa.
Kesendirian membayangi ku ketika perjalanan waktu membawa dunia ke pertigaan hari. Rutinitas ringan untuk membunuh waktu menjadi alternatif penghalau kebosanan dengan latar belakang riuh rendah suara TV. Sarapan minimalis ala eropa; roti, kopi susu, plus helaan lembut rokok, berbenah, menonton TV, dan sambil sesekali melamunkan Avatar yg akan ku jelang hari ini. Tanpa terasa hari pun bergulir ke pertengahan hari yg terik merona. Waktu seakan merangkak ringan di bawah kesadaran yg terabaikan. Ah, momentnya semakin dekat. Avatar, what it would be..
Riiing riiiiing riiiiiiing... Bunyi alarm handphone yg kemaren aku set pukul 13.30 pm. membahana membelah sunyi di relung angan. Aku terlonjak dari lamunan liarku tentang artis-artis yg kian hari semakin sensasional di infotainment. Infotainment siang ternyata telah berganti ke program berita yg menampilkan intrik-intrik politik yg memuakkan dan keprihatinan orang kecil menerima keadilan yg timpang. 'Mau dibawa ke mana sih bangsa ini?!' batinku berbisik miris menyaksikan kebobrokan para pejabat dan politisi. Alasan mengapa aku begitu membenci dunia politik yg kotor. Kembali ku tarik kesadaranku ke jalur waktu yg benar. Ah, sebentar lagi. Sudah saatnya bersiap-siap menjelang kemegahan Avatar yg menjanjikan. Saatnya untuk mandi, merapikan diri, dan berangkat menapaki terik mentari dan penghiburan.
Fiuuh.. Hari yg panas, matahari terasa jauh lebih ganas hari ini. Seakan-akan berusaha menghalangi gelora hasrat ku untuk menempuh jalan menuju Avatar. Tapi tekadku sudah sebulat cincin cahaya disekeliling gerhana yg mengancam. Langsung ku setop dan melangkah menapaki pintu mikrolet biru menuju gerbang Avatar.. Ah, sebentar lagi aku di sana. Harapanku ini akan menjadi perjalanan biasa yg sunyi di tengah hiruk pikuk kehidupan kota. Tapi, perbedaan hari itu diwarnai oleh dua orang pemuda tanggung yg sedang meributkan sesuatu ketika menaiki mikrolet yg ku tumpangi. Sungguh sebuah kehebohan yang tak terduga mengingat hari itu sangat terik, dan aku yakin orang-orang malas menambahkan panasnya hari dengan aktifitas yang mengundang pemakaian energi dan emosi ekstra. Tapi, inilah hiburan unik ku dalam perjalanan yang singkat. Dua oramng berdebat dalam Bahasa Minang yang ketal, dan tanpa kecurigaan sedikit pun bahwa akan ada orang yang bisa memahami perdebatan alot mereka. Topiknya sudah pasti cewek, isu yang paling umum menjadi sengketa dan objek keributan dalam peradapan mana pun...
"Ang dak picayo.. Den lah tau baa sipek cewek tu mah. Jablay tu mah!" Salh seorang pria yang tinggi aga hitam dengan rambut ikal tanggung mengumpat penuh keyakinan ke temannya.
"Sok tau ang mah. Kecean se lah ang suko, tapi kanai tolak. Lah ang buruak-buruakan lo nyo, p****k". Balas pria yang satunya lagi dengan sengit. Pria ini berperawakan menarik, putih agak pendek dan tampakknya agak 'ndeso' kalo dinilai dari stylenya.
"Tasarah dek ang lah.. Den lo nan ang pacaruikan! Tanyo lah ka Andy kalo ang dak picayo. Jablay tu mah.. Kamari lakek se nyo ka preman de perumnas nah." Imbas pria yang pertama.
Pada detik itu, aku sudah tidak bisa menyembuyikan ketertarikanku akan pembicaraan 'panas' mereka. Aku berusaha tetap memberikan ekspresi seakan-akan aku tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan. Tapi, salah seorang dari mereka rupanya melihat kerlinganku, yang berarti kegelisahan ku bentuk mencurigakan bagi mereka.
"Ssst.. Jan kareh kareh bana. Ang emosi se dari tadi mah. Lai aman ang, P****k?!" Ujar pria yang putih agak menahan suara.
"A nan ang takuikan! Dak ka mangarati se urang-urang tu do. Bahaso Jawa ang bae yo mangarati urang tu mah..."
"Jadi bilo ang ka manamui Jablay tu?" Balas temannya yang berkulit gelap tadi dengan lagak tetap emosi dan percaya diri tinggi. Mendengar kalimat tersebut, aku agak tersenyum. Sungguh pria-pria yang naif. Ingin rasanya aku bicara dan mengatakan bahwa aku mengerti bahasa dan apa yang mereka perdebatkan pada detik itu. Tapi aku tetap menahan diri. Perselisihan konyol itu tetap berlanjut dengan ungkapan-ungkapan jorok yang spektakuler, hingga aku sampai ke tujuan dimana aku harus berganti dari mikrolet ke bus kota. Aku turun dari mikrolet dan menyerahkan ongkos ke sopir. Tapi sebelum mikrolet itu bergerak kembali melanjutkan trayek-nya, aku meneriakkan sesuatu yang mengejutkan bagi kedua pria tadi.
"Udah deh bos, Jablay se baparabuikan. Bagi se lah samo rato.."
Dan ditambahkan oleh si Sopir.
"Antah lah diak, banyak batino nan baorok kini mah. Jablay juo nan bacakakan..!"
Kontan kedua pria itu tersipu dan kembali riuh rendah saling menyalahkan sembari mikrolet tersebut melanjutkan perjalanannya. Dan aku pun melanjutkan perjalanan sambil tersenyum senyum sendiri menuju Avatar.
To be continued...
Pagi itu, waktu terasa bergulir seperti biasa, lambat dan membosankan. Tapi hari tampak cerah dan menjanjikan siang yg terik, diilustrasikan oleh awan-awan tipis berwarna oranye yg kian menepi ke sudut biru cakrawala terjauh. Situasi kontrakan pun tetap secrawded biasanya, bak kapal bajak laut yg tak pernah tersentuh belaian prihatin kerapian. Kebiasaan bergadang sambil mengumbar pembicaraan renyah hingga fajar menyingsing akibat pengaruh insomnia musiman membuat aku dan teman-teman selalu terbangun didahului mentari pagi yg semburat di balik puncak gedung-gedung mewah di horizon timur. Sungguh nuansa pagi yg jauh berbeda dibanding gambaran indah yang lain, seperti kenangan lama ku di tanah kelahiranku dulu. Memang begitulah adanya, lain tempat lain pesona.
Tik tok tik tok.. Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 am. Ku kuatkan hati untuk mengangkat tubuh dari kasur yg sudah lecek termakan usia dan ketidakpedulian. Sungguh usaha yg berat mengingat aku baru tertidur beberapa jam. Ku kucek mataku yg perih sambil tetap pegangan ke dinding penuh coretan, hasil curhatan orang-orang yg pernah tinggal di sini sebelum kami, agar tidak terjengkang sebagai efek ketidakseimbangan akibat pusing berdiri tiba-tiba, sekaligus karena rasa kantuk yg masih mendera. Setelah memantapkan pijakan, ku layangkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ah, mereka masih terlelap dengan posisi dan ekspresi tidur yg unik; Onaz dengan posisi tidur andalannya membentuk huruf 'Z', Ayud yg berhasil melakukan pose tidur ala penganten baru memeluk Dobby, dan Dobby yg tertindih mantap dibawah kaki berukuran eksta milik Ayud sambil ngiler dan memamah biak (aduh, bunyinya lumayan menjijikkan). Melihat pemandangan aneh yg sudah tak asing ini aku tersenyum dan mulai bergerak membuka pintu menapaki terangnya pagi yg menerobos masuk dan telah mengeser sang malam ke belahan bumi lain. 'Ah, ini dia hari yg ku tunggu.. Avatar, negeri impian, I'll be there' pikirku sambil menggeliat dan mengirup udara pagi yang tak pernah segar di kota ini.
"Hoi, ga pada kerja? Dah siang nih. Banguuuun...!!!"
Hiruk pikuk pagi itu baru kentara setelah aku berhasil mendera Onaz, Ayud, dan Dobby yang terpaksa meraih kesadaran mereka dari pelukan sang mimpi. Dimulai dgn riuh rendah omelan, umpatan yang kurang pantas tapi biasa, dan sejumput kepanikan, mereka mulai melakukan persiapan pagi untuk menuju aktifitas rutin yg sudah menanti dengan setia. Namun seperti biasa, Ayud berhasil melontarkan kalimat rutinnya di pagi hari.
"Jam berapa sih..?"
Dan langsung kembali terkulai lelap utk kemudian bangun sangat kesiangan dengan kepanikan yg berlipat ganda membayangkan omelan pedas sang juragan di tempat kerja. Hmm.. Sungguh pagi biasa yang tidak biasa.
Kesendirian membayangi ku ketika perjalanan waktu membawa dunia ke pertigaan hari. Rutinitas ringan untuk membunuh waktu menjadi alternatif penghalau kebosanan dengan latar belakang riuh rendah suara TV. Sarapan minimalis ala eropa; roti, kopi susu, plus helaan lembut rokok, berbenah, menonton TV, dan sambil sesekali melamunkan Avatar yg akan ku jelang hari ini. Tanpa terasa hari pun bergulir ke pertengahan hari yg terik merona. Waktu seakan merangkak ringan di bawah kesadaran yg terabaikan. Ah, momentnya semakin dekat. Avatar, what it would be..
Riiing riiiiing riiiiiiing... Bunyi alarm handphone yg kemaren aku set pukul 13.30 pm. membahana membelah sunyi di relung angan. Aku terlonjak dari lamunan liarku tentang artis-artis yg kian hari semakin sensasional di infotainment. Infotainment siang ternyata telah berganti ke program berita yg menampilkan intrik-intrik politik yg memuakkan dan keprihatinan orang kecil menerima keadilan yg timpang. 'Mau dibawa ke mana sih bangsa ini?!' batinku berbisik miris menyaksikan kebobrokan para pejabat dan politisi. Alasan mengapa aku begitu membenci dunia politik yg kotor. Kembali ku tarik kesadaranku ke jalur waktu yg benar. Ah, sebentar lagi. Sudah saatnya bersiap-siap menjelang kemegahan Avatar yg menjanjikan. Saatnya untuk mandi, merapikan diri, dan berangkat menapaki terik mentari dan penghiburan.
Fiuuh.. Hari yg panas, matahari terasa jauh lebih ganas hari ini. Seakan-akan berusaha menghalangi gelora hasrat ku untuk menempuh jalan menuju Avatar. Tapi tekadku sudah sebulat cincin cahaya disekeliling gerhana yg mengancam. Langsung ku setop dan melangkah menapaki pintu mikrolet biru menuju gerbang Avatar.. Ah, sebentar lagi aku di sana. Harapanku ini akan menjadi perjalanan biasa yg sunyi di tengah hiruk pikuk kehidupan kota. Tapi, perbedaan hari itu diwarnai oleh dua orang pemuda tanggung yg sedang meributkan sesuatu ketika menaiki mikrolet yg ku tumpangi. Sungguh sebuah kehebohan yang tak terduga mengingat hari itu sangat terik, dan aku yakin orang-orang malas menambahkan panasnya hari dengan aktifitas yang mengundang pemakaian energi dan emosi ekstra. Tapi, inilah hiburan unik ku dalam perjalanan yang singkat. Dua oramng berdebat dalam Bahasa Minang yang ketal, dan tanpa kecurigaan sedikit pun bahwa akan ada orang yang bisa memahami perdebatan alot mereka. Topiknya sudah pasti cewek, isu yang paling umum menjadi sengketa dan objek keributan dalam peradapan mana pun...
"Ang dak picayo.. Den lah tau baa sipek cewek tu mah. Jablay tu mah!" Salh seorang pria yang tinggi aga hitam dengan rambut ikal tanggung mengumpat penuh keyakinan ke temannya.
"Sok tau ang mah. Kecean se lah ang suko, tapi kanai tolak. Lah ang buruak-buruakan lo nyo, p****k". Balas pria yang satunya lagi dengan sengit. Pria ini berperawakan menarik, putih agak pendek dan tampakknya agak 'ndeso' kalo dinilai dari stylenya.
"Tasarah dek ang lah.. Den lo nan ang pacaruikan! Tanyo lah ka Andy kalo ang dak picayo. Jablay tu mah.. Kamari lakek se nyo ka preman de perumnas nah." Imbas pria yang pertama.
Pada detik itu, aku sudah tidak bisa menyembuyikan ketertarikanku akan pembicaraan 'panas' mereka. Aku berusaha tetap memberikan ekspresi seakan-akan aku tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan. Tapi, salah seorang dari mereka rupanya melihat kerlinganku, yang berarti kegelisahan ku bentuk mencurigakan bagi mereka.
"Ssst.. Jan kareh kareh bana. Ang emosi se dari tadi mah. Lai aman ang, P****k?!" Ujar pria yang putih agak menahan suara.
"A nan ang takuikan! Dak ka mangarati se urang-urang tu do. Bahaso Jawa ang bae yo mangarati urang tu mah..."
"Jadi bilo ang ka manamui Jablay tu?" Balas temannya yang berkulit gelap tadi dengan lagak tetap emosi dan percaya diri tinggi. Mendengar kalimat tersebut, aku agak tersenyum. Sungguh pria-pria yang naif. Ingin rasanya aku bicara dan mengatakan bahwa aku mengerti bahasa dan apa yang mereka perdebatkan pada detik itu. Tapi aku tetap menahan diri. Perselisihan konyol itu tetap berlanjut dengan ungkapan-ungkapan jorok yang spektakuler, hingga aku sampai ke tujuan dimana aku harus berganti dari mikrolet ke bus kota. Aku turun dari mikrolet dan menyerahkan ongkos ke sopir. Tapi sebelum mikrolet itu bergerak kembali melanjutkan trayek-nya, aku meneriakkan sesuatu yang mengejutkan bagi kedua pria tadi.
"Udah deh bos, Jablay se baparabuikan. Bagi se lah samo rato.."
Dan ditambahkan oleh si Sopir.
"Antah lah diak, banyak batino nan baorok kini mah. Jablay juo nan bacakakan..!"
Kontan kedua pria itu tersipu dan kembali riuh rendah saling menyalahkan sembari mikrolet tersebut melanjutkan perjalanannya. Dan aku pun melanjutkan perjalanan sambil tersenyum senyum sendiri menuju Avatar.
To be continued...
SOCIALIZE IT →