*Mhh.. Masih tersenyum membayangkan cerita 'Journey to Avatar, Part I', kembali ku kumpulkan imajinasi untuk berekspresi melanjutkan cerita biasa yang makin luar biasa ini. Tapi sebelumnya, izinkan hasrat tulusku untuk berterimakasih kepada semuanya atas apresiasinya dalam bentuk apa pun. Sungguh suatu kebanggaan bisa menebar keceriaan atau bahkan mungkin inspirasi melalui narasi yang masih jauh dari sempurna ini. Tanggapan plus 'jempol-jempol'nya telah memompa semangatku untuk kembali memaparkan kelanjutan kisah ini. Dan demi kesempurnaan yang masih prematur untuk ku harapkan, silahkan posting terus comment dan tanggapannya. Trims.
Sungguh kejutan kecil yang meyenangkan ketika perjalanan yang tadi ku anggap biasa ini dimeriahkan oleh drama spontan dua pemuda memperebutkan cinta. Sebuah potret umum dari keseharian yang kompleks telah ikut mencerahkan suasana siang yang terik ini. Aku masih tersenyum geli mengenang ekspresi terkejut berganti malu ke dua pemuda tadi. Rentetan kisah tersebut seakan kembali tergambar dalam anganku, bergulir balik menghibur lamunanku. Tanpa ku sadari, beberapa orang yang lalu-lalang di hadapanku menunjukkan wajah heran penuh tanda tanya melihat tingkahku yang agak tak biasa; nyengir sendiri di tepi jalanan riuh dalam posisi yang tak wajar. Aneh?! Akhirnya aku disadarkan dari lamunan oleh kerlingan prihatin seorang wanita bertampang ceria yang tetap menatap aku lekat walau pun sudah melewati tempat aku berdiri, tanpa menyadari adanya tiang reklame menghadang kokoh di jalurnya. Awas! Untunglah, tatapan balikku yang menantang segera membuatnya kembali menatapi arah jalan dan tersadar menata langkah kakinya yang goyah karena terkejut hampir menabrak tiang. Semakin melebarkan senyum, kembali ku kumpulkan konsentrasi yang tadi luruh bersama angan. Ku mantapkan hati membayangkan tujuan, bahwa aku masih dalam perjalanan menjemput hasrat untuk mengagumi kemegahan Avatar.
Angin kering berdebu mengelus lembut wajahku yang mulai berkeringat. Tampaknya matahari semakin berjaya di singgasananya melecutkan bilur-bilur panas ke permukaan bumi yang semakin gersang. Simfoni fals suara kendaraan yang berlalu-lalang melengkapi intensitas polusi yang semakin kental di udara.
"Arrrgghh.. Tampaknya global warming semakin parah", pikirku agak sok tahu menghubung-hubungkan teriknya siang itu dengan fenomena efek rumah kaca yang semakin gencar dipropagandakan oleh berbagai elemen di banyak kesempatan. Formalitas atau bukan, yang pasti masih diperlukan usaha maksimal plus keajaiban untuk mendisiplinkan perilaku penghuni dunia agar memahami dan menjaga perilaku supaya tidak merusak lingkungan demi kelangsungan bumi. Waduh! Lamunan idealis yang cukup berat. Dengan helaan nafas yang dalam, aku mulai menarik kesadaran ke kenyataan di mana aku berdiri kaku di tepi trotoar jalan dalam posisi menunggu yang kentara. Ku lemparkan pandangan ku ke ujung jalan, ke arah di mana bus yang akan membawa ku ke negeri Avatar akan muncul membawa kejutan. Tapi harapan tak kunjung mencuat nyata. Detik demi detik terasa berdetak semakin lantang di kepala ku. Ku kibasakan tangan mengipasi wajah yang semakin basah oleh tetesan keringat yang mengucur deras di sela penantian.
"Panas sekali", pikir ku.
"Apakah sebaiknya aku naik Busway aja?!"
Terlintas dalam pikiranku untuk berimprovisasi terhadap alur perjalanan menuju mimpi ini dengan memutuskan untuk menaiki Busway demi menambahkan kenyamanan. Sungguh sebuah sindiran yang ketus terhadap gerahnya siang itu. Dan tergerak oleh spontanitas yang menggiurkan, ku langkahkan kaki sambil mengeluarkan sebatang rokok, menyulutnya, dan meresapi helaan ringan seirama dengan hentakan langkah ku yang mantap dan riang.
Ah.. Sampai juga akhirnya. Berjalan sekitar 100 meter dalam hamparan siang yang terik membuatku sedikit terengah dan keringan melembabkan kaos putih yang ku kenakan. Sekarang aku berdiri tepat di depan loket pembelian karcis Busway. Langsung ku keluarkan lembaran rupiah, memesan, dan menerima ticket yang langsung ku kantongi. Aku bergerak mencari posisi penantian yang dekat dengan kesejukan di halte tersebut demi mengusir gerah yang masih melekat bandel di relung syaraf ku. Seiring resapan kesegaran, lamunan ku kembali melayang memperhatikan berbagai individu yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Suara dengan berbagai bahasa, intonasi, topik, dan keriangan menggema di udara dingin menyegarkan. Suasana damai yang kentara, gambaran lain dari uniknya keseharian kota, di mana sekelompok orang tampak begitu puas dengan hidup mereka. Sebuah cerminan kemapanan nyaman yang semakin mengumbar aroma kesejukan di atmosfer halte, dan esensinya menyegarkan suasana. Atau hanyalah karena ruangan ini dilengkapi dengan AC yang membuat udara panas di luar sana terasa bagaikan mimpi buruk yang menghantui.
Perjalanan dengan Busway memang sangat nyaman. Apa lagi gelombang panas di luar tampak laksana macan ganas mengancam dari balik kisi-kisi jeruji yang rapuh. Sungguh melegakan menyadari bahwa aku memilih melanjutkan perjalanan dalam kenyamanan yang menghibur. Rasanya kenyamanan ini tidaklah berlebihan walau pun aku hanya dapat berdiri berdesakan, dan hanya menatap kelebatan pemandangan kota yang mendekat dan menjauh dalam gerak cepat yang kabur. Sikap acuh orang-orang yang kebanyakan berwajah serius mengelilingiku dan membuat aku semakin menikmati perjalanan dalam kesendirian yang melankolis. Berbagai ilustrasi menyenangkan terbentuk di benakku yang terhenyak nyaman dan menindih logika ku dengan kemesraan yang memabukkan. Udara hanya dipenuhi oleh bisikan tertahan beberapa pembicaraan, deru pelan kendaraan, dan sesekali diselingi suara wanita mesin yang berbicara dengan logat formal mengumumkan halte di setiap pemberhentian. Tapi semakin lama frame-frame pemandangan berbingkai jendela kaca terasa semakin asing. Segumpal perasaan khawatir meresap dingin ke dalam kesadaranku yang bergoyang seirama hentakan pelan bus menelusuri jalan. Dan aku semakin curiga.. Jangan-jangan?!
"Maaf Mbak. Busway ini ke arah mana ya?" Tanya ku seramah mungkin sambil menelan sedikit kekhawatiran yang getir.
"Oh iya.. Ini ke arah Harmoni. Paling sebentar lagi nyampe, Mas." Jawab wanita yang berdiri di sebelah aku dengan santai.
"HAH... ADUH!!!" Kepanikan terasa membuncah dalam dadaku.
"Kenapa Mas, ada yang salah?" Sepertinya wanita tersebut membaca kegelisahan yang semburat di wajahku.
"Ah, ga apa-apa Mbak. Takut kelewat aja. permisi ya..."
Gawat, salah arah! Aku langsung bergegas ke arah pintu Busway begitu halte tampak semakin mendekat di depan. Diiringi tatapan heran bercampur curiga wanita tadi, aku melangkah keluar Bus berbaur dengan penumpang lainnya dengan rona merah bersemu di wajah ku. Astaga! Bagaimana aku bisa begitu bodoh. Bagaimana mungkin aku sampai terbawa ke arah yang tidak aku niatkan untuk dituju. Wah, ini gara-gara lamunan gila yang membius kosentrasiku, menguapkan kesadaranku dari apa yang seharusnya ku jalani dengan kepastian yang sudah terencana. Sial..!
Masih sedikit kesal dengan kealpaan yang tak seharusnya, ku lanjutkan langkah keluar dari halte antah-berantah tersebut. Pikiran ku masih berusaha mencari alasan yang dapat melegakan untuk kekeliruan konyol ini. Kesalahan yang tidak dibutuhkan untuk mencerahkan hari, tapi tidaklah akan melunturkan semangat ku untuk mengecap gegap gempita kemeriahan Avatar. Sambil kembali berusaha menyusun kepingan-kepingan kosentrasi, aku memutuskan untuk menaiki metromini demi kelangsungan mimpi yang sedikit terkikis oleh emosi kekeliruan. Aku tersenyum meresapi kebodohan ku sendiri. Sementara itu udara panas mulai kembali menggerogoti kesegaran yang tadi sempat menumbuhkan benih-benih euphoria. Perlahan aku menyadari keberadaanku tak lagi meyakinkan untuk tampak bersemangat. Hamparan siang yang terik kembali harus ku hadapi. Ah, Nikmati saja. Kegerahan ini adalah pengorbanan menuju asa. Dan, langkahku pun berlanjut menapaki mimpi yang menanti; Avatar yang penuh imajinasi.
To be Continued...
SEE ALSO The Previous Story: Journey To Avatar Part I

Angin kering berdebu mengelus lembut wajahku yang mulai berkeringat. Tampaknya matahari semakin berjaya di singgasananya melecutkan bilur-bilur panas ke permukaan bumi yang semakin gersang. Simfoni fals suara kendaraan yang berlalu-lalang melengkapi intensitas polusi yang semakin kental di udara.
"Arrrgghh.. Tampaknya global warming semakin parah", pikirku agak sok tahu menghubung-hubungkan teriknya siang itu dengan fenomena efek rumah kaca yang semakin gencar dipropagandakan oleh berbagai elemen di banyak kesempatan. Formalitas atau bukan, yang pasti masih diperlukan usaha maksimal plus keajaiban untuk mendisiplinkan perilaku penghuni dunia agar memahami dan menjaga perilaku supaya tidak merusak lingkungan demi kelangsungan bumi. Waduh! Lamunan idealis yang cukup berat. Dengan helaan nafas yang dalam, aku mulai menarik kesadaran ke kenyataan di mana aku berdiri kaku di tepi trotoar jalan dalam posisi menunggu yang kentara. Ku lemparkan pandangan ku ke ujung jalan, ke arah di mana bus yang akan membawa ku ke negeri Avatar akan muncul membawa kejutan. Tapi harapan tak kunjung mencuat nyata. Detik demi detik terasa berdetak semakin lantang di kepala ku. Ku kibasakan tangan mengipasi wajah yang semakin basah oleh tetesan keringat yang mengucur deras di sela penantian.
"Panas sekali", pikir ku.
"Apakah sebaiknya aku naik Busway aja?!"
Terlintas dalam pikiranku untuk berimprovisasi terhadap alur perjalanan menuju mimpi ini dengan memutuskan untuk menaiki Busway demi menambahkan kenyamanan. Sungguh sebuah sindiran yang ketus terhadap gerahnya siang itu. Dan tergerak oleh spontanitas yang menggiurkan, ku langkahkan kaki sambil mengeluarkan sebatang rokok, menyulutnya, dan meresapi helaan ringan seirama dengan hentakan langkah ku yang mantap dan riang.
Ah.. Sampai juga akhirnya. Berjalan sekitar 100 meter dalam hamparan siang yang terik membuatku sedikit terengah dan keringan melembabkan kaos putih yang ku kenakan. Sekarang aku berdiri tepat di depan loket pembelian karcis Busway. Langsung ku keluarkan lembaran rupiah, memesan, dan menerima ticket yang langsung ku kantongi. Aku bergerak mencari posisi penantian yang dekat dengan kesejukan di halte tersebut demi mengusir gerah yang masih melekat bandel di relung syaraf ku. Seiring resapan kesegaran, lamunan ku kembali melayang memperhatikan berbagai individu yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Suara dengan berbagai bahasa, intonasi, topik, dan keriangan menggema di udara dingin menyegarkan. Suasana damai yang kentara, gambaran lain dari uniknya keseharian kota, di mana sekelompok orang tampak begitu puas dengan hidup mereka. Sebuah cerminan kemapanan nyaman yang semakin mengumbar aroma kesejukan di atmosfer halte, dan esensinya menyegarkan suasana. Atau hanyalah karena ruangan ini dilengkapi dengan AC yang membuat udara panas di luar sana terasa bagaikan mimpi buruk yang menghantui.
Perjalanan dengan Busway memang sangat nyaman. Apa lagi gelombang panas di luar tampak laksana macan ganas mengancam dari balik kisi-kisi jeruji yang rapuh. Sungguh melegakan menyadari bahwa aku memilih melanjutkan perjalanan dalam kenyamanan yang menghibur. Rasanya kenyamanan ini tidaklah berlebihan walau pun aku hanya dapat berdiri berdesakan, dan hanya menatap kelebatan pemandangan kota yang mendekat dan menjauh dalam gerak cepat yang kabur. Sikap acuh orang-orang yang kebanyakan berwajah serius mengelilingiku dan membuat aku semakin menikmati perjalanan dalam kesendirian yang melankolis. Berbagai ilustrasi menyenangkan terbentuk di benakku yang terhenyak nyaman dan menindih logika ku dengan kemesraan yang memabukkan. Udara hanya dipenuhi oleh bisikan tertahan beberapa pembicaraan, deru pelan kendaraan, dan sesekali diselingi suara wanita mesin yang berbicara dengan logat formal mengumumkan halte di setiap pemberhentian. Tapi semakin lama frame-frame pemandangan berbingkai jendela kaca terasa semakin asing. Segumpal perasaan khawatir meresap dingin ke dalam kesadaranku yang bergoyang seirama hentakan pelan bus menelusuri jalan. Dan aku semakin curiga.. Jangan-jangan?!
"Maaf Mbak. Busway ini ke arah mana ya?" Tanya ku seramah mungkin sambil menelan sedikit kekhawatiran yang getir.
"Oh iya.. Ini ke arah Harmoni. Paling sebentar lagi nyampe, Mas." Jawab wanita yang berdiri di sebelah aku dengan santai.
"HAH... ADUH!!!" Kepanikan terasa membuncah dalam dadaku.
"Kenapa Mas, ada yang salah?" Sepertinya wanita tersebut membaca kegelisahan yang semburat di wajahku.
"Ah, ga apa-apa Mbak. Takut kelewat aja. permisi ya..."
Gawat, salah arah! Aku langsung bergegas ke arah pintu Busway begitu halte tampak semakin mendekat di depan. Diiringi tatapan heran bercampur curiga wanita tadi, aku melangkah keluar Bus berbaur dengan penumpang lainnya dengan rona merah bersemu di wajah ku. Astaga! Bagaimana aku bisa begitu bodoh. Bagaimana mungkin aku sampai terbawa ke arah yang tidak aku niatkan untuk dituju. Wah, ini gara-gara lamunan gila yang membius kosentrasiku, menguapkan kesadaranku dari apa yang seharusnya ku jalani dengan kepastian yang sudah terencana. Sial..!

To be Continued...
SEE ALSO The Previous Story: Journey To Avatar Part I
SOCIALIZE IT →