Indonesia, adalah negeri dimana aku lahir, tumbuh dan berkembang menjadi pribadi apa adanya aku saat ini. Aku bersyukur karananya, walau jujur saja, terkadang level kecintaanku pada negara ini bahkan jatuh minus di bawah nol. Selalu ada pasang surut nasionalisme di hatiku. Bahkan pernah terucap "aku adalah pribadi unik yg lahir di negara yang salah" hanya karena ketidaknyamanan kebijakan dan birokrasi di negeri ini (Punk, masih ingat conversation seru itu? Ah, I kinda miss those chitchats hahaha). Terlepas dari persepsi subjektif, ranah tercinta ini mengalami begitu banyak polemik, dimulai dari masa perjuangan sebelum kemerdekaan hingga hari ini, dimana Indonesia sudah merayakan hampir 3/4 abad umur kemerdekaannya. Sungguh, bangsa yang besar, majemuk, kaya, indah dan potensial... Tapi, ada banyak topik-topik sensasional yang memprihatinkan terjadi belakangan ini tepat ketika Indonesia merasa yakin bahwa masyarakatnya sudah memperoleh hak-hak secara demokratis.
Setelah diktatorisme tirani mengekang kebebasan hampir selama 32 tahun di masa Orde Baru, kita hampir optimis sepenuhnya bahwa bangsa ini akan semakin membaik dalam hal sitem penyelenggaraan negara, ekonomi, politik, hukum, kebudayaan dan bidang terkait lainnya. Tapi lihat kenyataannya, carut-marut birokrasi pemerintahan, hukum dan masalah sosial-kemasyarakatan semakin menjadi-jadi. Manufer-manufer politik menjadi tontonan wajib sejak awal reformasi, kebobrokan para pejabat terungkap hampir di setiap lini, ketimpangan sosial-ekonomi semakin memperbesar jurang-jurang pluralisme, dan kisah-kisah prihatin ketidakadilan berlangsung seperti episode sitkom berating tinggi. Belum lagi masalah identitas dan budaya, serta efek domino bencana yg memporak-porandakan taraf hidup anak bangsa. Air mata ibu pertiwi tampaknya tak akan berhenti mengalir menyaksikan derita rakyatnya.
Meski bangsa ini terus merintih menahan bilur-bilur merah berdarah bekas pecutan zaman, tentunya tetap ada pencapaian positif yang konstruktif menjadi penghiburan bagi ketahanan bangsa. Tidak sedikit juga perubahan fundamental yang menorehkan senyum bahagia di wajah persada. Nah, untuk itu kita harus tetap optimis memperjuangkan kemaslahatan negara dengan cara dan proporsi masing-masing elemen bangsa. Sesuai dengan peran yang masing-masing kita emban di panggung sandiwara bangsa yang luar biasa majemuk ini.
Tapi, terkadang kita pasti menyerah dengan keadaan. Ketika para pejabat bangsa ini bertindak irrasional hanya untuk sebuah manufer pribadi dan golongan. Membuat kita menyumpah, dan menadah janji-janji manis yang dulu mereka umbar untuk mendapatkan legitimasi. Hingga akhirnya mereka lupa diri. Walau pun demikian, mari tetap berpikiran terbuka. Tidak berprasangka dan menerima logika dan fakta dengan kepala dingin. Ada cara-cara unik untuk menganalogikan peristiwa bangsa menjadi komedi yang mumpuni untuk menjadikannya lelucon segar. Dan caraku, diantaranya, adalah dengan memandang polemik-polemik bangsa yang happening belakangan ini bagai anekdot lucu sensasi yang menghibur. Dari pada stres ikut memikirkan kerumitan yang tak bisa kita tangani dengan teriakan keki, lebih baik tersenyum menyaksikan simfoni elegi yang tersembunyi di balik semua wacana sensasional yang terjadi..
- Masih segar di ingatan tentang polemik Timor-timur, dimana pada akhirnya Indonesia kehilangan sebagian kecil wilayahnya. Ada banyak cerita dan rumor melengkapi agenda tersebut, tapi kenyataannya kita tetap harus merelakan Timor untuk merdeka. Jadi, siapa yang salah? Jawabannya mengambang bersama masa, positifnya kita masih punya wilayah yg sangat luas untuk dijaga. So, mengapa harus menangisi nila setitik jika kita masih punya susu sebelanga.
- Kemudian, teringat juga tentang heboh tentang haruskah Soeharto diadili. Ada pro-kontra masive tentang isu ini. Faktanya presiden ke-2 ini memang telah melakukan diktatorisme (istilah KKN mulai populer pada masa ini) di masa pemerintahannya, dan ada banyak penyimpangan terungkap dalam kisahnya. Tapi tak bisa dipungkiri juga bahwa Soeharto telah memberikan jasa terhadap pembangunan yg cukup signifikan di periodenya. Dan anekdotnya adalah, kenapa harus repot-repot mengurusi hukuman terhadap Soeharto, toh sudah tua. Kalau dipenjara pun paling cuma sebentar karena beliau sudah di ujung usia. Buktinya beberapa saat kemudian Soeharto pun tiada. Nah, bukankah lebih baik membenahi warisan pemerintahannya yang bobrok dan meneruskan pembangunan dari pada menyia-nyiakan waktu mengadili 'seorang lansia'.
- Berikutnya semberawut dunia politik mewarnai tanah air. Bemacam partai dan tokoh berebut mengambil kesempatan emas. Tatanan negara terabaikan, krisis mencuat, keprihatinan meraja, dan masyarakat dibingungkan. Tapi kita tetap bisa berpositif-thinking, karena demokrasi tampaknya mulai berbicara lantang dan kebebasan berekspresi mulai dihargai.. Buktinya banyak tokoh muncul di media dengan berbagai intonasi dan ekspresi, dan kita mendapat hiburan gratis dari beragam orasi humor slapstick yang kronologis dan teoristis.
- Tak lama kemudian, babak baru bangsa tertoreh dalam demokrasi yang teruji. Meski masih diselingi berbagai percikan kecurangan, Gus Dur muncul ke atas podium sebagai tokoh no.1 yang baru. Dengan segala keeksentrikannya, presiden ke-3 ini berupaya memulihkan wibawa bangsa. Sensasi-sensasi kecil tercipta meluruhkan dogma dan stigma pemerintahan. Dan, Gus Dur berorentasi meningkatkan kepercayaan dunia terhadap Indonesia. Publik mencemooh, domestik terabaikan, berbagai pakar berjibun menuai perhatian. Namun Gus Dur tetap santai dengan gayanya yg membumi, masih ingat ketika TV menayangkan beliau tampil hanya dengan boxer mini? Hahaha.. Gus Dur hanya menjawab setiap keebohan dengan kalimat unggulannya yang khas, "Gitu aja kok repot..?" Nyentrik memang, tapi jasa beliau lah yang berhasil mengukuhkan kesatuan bangsa ketika pluralisme dan chauvinisme golongan mengancam bangsa. Masyarakat Tionghoa yan minoritas terlegitimasi dalam komunitas bangsa.
- Tahap berikutnya, Megawati muncul dengan "banteng"-nya yang mengganas. Mengalahkan politisi lain yang berlomba-lomba mendapatkan pengakuan dan kedudukan. Demokrasi tetap beum terlaksana dengan benar. Kecurangan administrasi dan aplikasi masih mewarnai perjalanan demokrasi pasca Orba. Sekarang mereka menyebutnya zaman reformasi. Yah, setelah revolusi dan krisis moneter yang mencabik-cabik ketenangan dan kemakmuran negeri. Tapi pencapaian apa yang diusung seorang Megawati? Tidak terlalu signifikan dalam memaikkan taraf hidup tapi mampu melanjutkan kesinambungan pemerintahan yang terus berusaha lebih baik. Dan, perempuan seakan mendapat angin untuk berkiprah dan bangkit sesuai dengan pesan Kartini dan emansipasi. Memang, walau pun perempuan tidak diciptakan untuk menjadi imam, tapi mereka pun tak berhak dimarginalisasikan. Artinya kesetaraan gender jadi lebih baik ketika Megawati memerintah negeri ini.
- Selanjutnya apa? Semakin ramai pemain baru dalam kancah politik bangsa. Dan begitu banyak polemik-polemik administrasi dan ketatanegaraan yang muncul menjadi kehebohan di forum media. Namun bangsa ini tetap berjalan, berkembang sesuai dengan pembalajara. Kebebasan bagaikan mainan baru yang dipakai sebagai alasan untuk membenarkan beragam sensasi yang menggemparkan. Dan SBY pun muncul dengan bendera Demokrat berkibar megah di langit persada. Sebuah kekuatan politik baru yang berhasil menggebrak dominansi partai besar warisan tirani Orba. Atinya apa? Artinya demokrasi semakin baik. Kesempatan untuk mengaktualisasikan diri menjadi sangat terbuka bagi tokoh yang mau beragumentasi untuk unjuk gigi. Warna baru legislatif. koalisi dan oposisi. Kontrol pemerintahan yang semakin reaktif. Namun Demiokrasi masih terlalu dini ntuk bisa dikatakan berhasil diterapkan dengan prosedur yang benar. Masih perlu waktu untu mendewasakan politisi agar bisa menerima kekalahan dalam pemilihan yang kompetitif.
- SBY muncul menjadi tokoh baru yang heroik. Mencoba menjadikan bangsa ini tumbuh lebih sehat. Menciptakan kebijakan yang cukup mumpuni untuk kembli diakui dunia. Menjerat para penjahat jabatan, KKN menjadi perhatian yang mebuat koruptor gemetaran beraksi (KPK didirikan). Menaikkan pertumbuhan ekonomi dan mengangkat masyarakat dari keterpurukan krisis ekonomi. Memberikan janji-janji inspiratif untuk meninggikan moral bangsa. Mengangkat semangat untuk kembali bangkit membangun bangsa bersama-sama. Hasilnya, lima tahun yang disyukuri. Grafik naik secara ekslusif. Neraca ekonomi yang positif. Keamanan yang kondusif. Dan wibawa pemerintah perlahan kembali dipulihkan. Rakyat merasa diperhatikan dan gairah nasionalisme kembali bergelora. Hidup SBY! Toh beliau telah cukup sukses memulihkan bangsa ini dari keadaan sekarat.
- Demokrasi Indonesia masih belum dewasa. Kehebohan pemilu masih menjadi momok kecurangan memilukan. Walau pun tampak kesuksesan pemilihan seperti riak air tenang di sungai deras mengahanyutkan. Dan hasilnya, SBY masih menjadi no.1. Namun kali ini dukungan menjadi dibiaskan. Pro-kontra muncul mencari pembenaran. Mulai dari tuntutan ketidakabsahan pelaksanaan pemilu (kecurangan-kecurangan bahkan bisa dilihat ditayangan TV) hingga tarik ulur kekuatan koalisai dan oposisi legislatif. Belakangan muncul polemik-polemik sensasional yang menjadi perhatian bagi masyarakat awam hingga profesional. Perseteruan cicak-buaya misalnya, dan yang paling hangat adalah kucuran dana 6,7 triliyun bail-out Bank Century dengan sensasi-sensasi dramatis dan emosional para anggota Pansus. Proses penyelidikan kebijakan oleh Pansus menjadi tontonan wajib bagi berjuta-juta rakyat Indonesia. Pro dan kontra. Keki dan gemes. Geregetan serta dagdigdug menanti hasil penyelidikan untuk mengungkap kecurangan dalam pengambilan kebijakan. Dan begitu banyak 'orang pintar' ambil bagian dalam wacana ini, mulai dari sekedar beropini sampai ada yang berulah sedikit eksentrik dalam berekspresi. Efek sampingnya, pamor pemerintahan terpilih menjadi tercoreng. Foto berpigura emas pemerintahan SBY yang tertata rapi sekarang sedikit oleng. Demonstrasi dimana-mana. Opini publik bergema menuntut keterbukaan. Kekuatan legislatif terpecah. Propaganda dan ancaman tersirat merambah kenyamanan kekuasaan. Kekuatan-kekautan golongan menjadi solid melaan tekanan. Dan rakyat hanya mampu menggeleng diap dalam keheranan yang mebingungkan. Tapi tampaknya nafas semua orang masih tertahan menunggu penyelesaian polemik bangsa yang sangat menentukan kelangsungan pemerintahan ini. Karena, baru dalam proses saja isu resufel dan pemakhzulan merebak memberi tekanan. Bukan tidak mungkin akhir dari perseteruan politik ini merugikan rakyat dan memporak-porandakan tatanan kenegaraan. Namun mari kita tertawa menyaksikan anekdot bangsa ini. Karena nyatanya kita memang masi belajar menjadi bangsa yang demokratis, bijak dan makmur. Seberapa besarpun pencapaian bangsa ini menuju masyarakat yang adil dan makmur, patut kita syukuri dengan tetap memandang positif setiap jasa pemimpin negeri ini. Dan tetap membuka mata mengawasi kekhilafan petinggi negara, karena walau bagaimana pun mereka tetaplah manusia biasa.
Sungguh masih perlu perhatian lebih untuk membenahi demokrasi dan moral bangsa ini. Tak perlu radikal menanggapi kecurangan demi kecurangan pemerintahan. Adili setiap kesalahan dengan hukum dan beri dukungan untuk setiap usaha membangun dan membesarkan nama bangsa. Mari tetap kritis tapi tidak anarkis. Kontrol pemerintahan tapi tidak menjadi hakim dalam memutuskan kebijakan. Semoga proses pendewasaan yang carut-marut ini benar-benar membawa Indonesia kearah kemajuan.
SOCIALIZE IT →