Lenyai, merupakan sebuah tempat di mana banyak kisah terkenang bagaikan megahnya keajaiban. Tempat di mana sebuah air terjun pecah berderu di bebatuan alam yang menghiasi sebuah sungai kecil di kampung ku tercinta, Bukit Tandang. Anehnya, aku tak pernah tau nama asli tempat itu. Lokasinya lebih dikenal dengan nama Lenyaii, nama pemberian para pemuda yang sering kali mengunjungi tempat istimewa tersebut, termasuk aku. Tempat itu selalu dikunjungi dari waktu ke waktu, terutama pada masa liburan sekolah atau ketika ada salah seorang teman yang berulang tahun. Jadi memang ada begitu banyak cerita tercipta di Lenyai.
Aku pun benar-benar tak tahu tentang asal-muasal ditemukan air terjun kecil itu. Tiba-tiba saja pada masa remaja ku, teman-teman begitu heboh dengan keunikan dan keindahan sebuah lokasi diantara lekuk paling tersembunyi bukit di ujung sebelah timur kampung ku. Di sebuah ceruk lembah yang sempit dialiri sungai kecil yang jernih dengan rimbun pepohonan rindang dikiri-kanannya, di sana lah Lenyai mengumbar keajaibannya. Teduh, sejuk, menyegarkan dan mempesona bagai tempat pemandian para dewi. Tapi, sekali lagi aku tak pernah tau alasan mengapa tempat itu dinamakan Lenyai (bahkan arti kata ‘lenyai’ itu sendiri pun dalam Bahasa Minang masih meragukan ku; apakah artinya ‘habis’, 'rusak', atau ‘kandas’? Entahlah.) Walau pun para tetua yang mengetahuitambo dan sejarah budaya lokal pernah bercerita bahwa memang ada beberapa air terjun kecil dalam wilayah kampung ku, tersembunyi di antara rahasia-rahasia mistis hutan dan perbukitan alur Bukit Barisan yang bergelung mengelilingi bagian sebelah selatan timur dan barat kampung ku. Dan memang aku pun pernah mengunjungi air terjun kecil lainnya di sungai kecil yang lain. Sungai yang mengalir ke arah pemukiman penduduk dan bersatu pada satu titik dengan sungai aliran dari Lenyai, dan akhirnya membelah kampungku untuk akhirnya menyatu dengan anak sungai lainya menuju Danau Singkarak.
Mengunjungi Lenyai selalu mendatangkan euphoria tersendiri. Biasanya aku dan teman-teman selalu berencana sebelum mengunjungi Lenyai untuk merayakan sesuatu, berburu, atau hanya untuk sekedar berekreasi melepaskan kebosanan. Kesibukan kecil mempersiapkan bekal adalah rutinitas kecil sebagai ritual sebelum berangkat, mengingat perjalanan yang sedikit akan melelahkan mendaki bukit menuruni lembah seperti ‘Ninja Hatori’. Kue-kue, minuman menyegarkan, dan bungkusan nasi dengan lauk khas yang pedas adalah pilihan menu yang biasanya disiapkan untuk acara makan-makan merupakan bagian favorit dari kunjungan keLenyai. Karena entah mengapa, menyantap makan di tempat fantastis itu memiliki kenikmatan tersendiri yang tak bisa didapat di tempat lain, apa lagi setelah lelah bermain air dan berenang di arus kecil menyegarkan itu. Dan jangan lupa menyiapkan kamera. Akan rugi rasanya jika tidak mengabadikan kunjungan ke Lenyai dengan foto-foto yang seru.
Untuk mencapai lokasi air terjun, kita harus memilih jalan antara rute atas atau rute bawah. Rute atas artinya mendaki bukit Gantiang melewati rimbun pepohonan perkebunan masyarakat kampung ku, lalu baru turun ke lembah meyusuri sungai. Sedangkan rute bawah berarti basah-basahan melewati aliran sungai dari Mudiak Sampie terus ke timur menyusuri hulu sungai sampai akhirnya mencapai Lenyai. Dan rute favorit ku adalah melewati sungai, basah-basahan bermain air membuat perjalanan tak terasa melelahkan. Dan setelah berjalan lebih kurang tiga puluh menit, Lenyai akan terlihat diawali dengan terdengarnya gemuruh air menerpa bebatuan, dan dinding batu mulai mendominasi sisi tebing di kiri kanan sungai. Pemandangan air terjun setinggi sekitar dua meter menyejukkan jiwa. Dengan lantai bebatuan berbentuk relief acak yang indah dan sulur-sulur pepohonan bergelantungan liar di langit-langitnya bagaii hiasan hijau di malam tahun baru, tempat itu terasa sangat mempesona.
Dari waktu ke waktu, Lenyai lah yang menjadi barometer kekompakan para remaja di kampungku. Begitu banyak kreativitas dan aktivitas yang kami selenggarakan untuk menyemarakkan kehidupan keseharian, baik yang bersifat ritual atau pun kegiatan sosial-kemasyarakatan. Dan pada akhir perayaan, Lenyai akan menjadi tujuan untuk relaksasi sehabis kesibukan yang menyita pikiran. Bahkan tak jarang teman-teman lain dari luar kampung ikut serta dalam ritual sosialisasi mengunjungi Lenyai. Di sanalah kami biasa berkumpul, bercengrama, mandi-mandi, makan-makan dan menghabiskan hari hingga sore menjelang. Tak jarang kisah-kisah romantis terukir di tempat itu. Terbukti dengan banyaknya pasangan remaja yang jadian di tempat itu, atau menjadi kekasih setelah mengunjungi tempat itu dalam kesempatan yang sama. Aku pun suka geli sendiri mengingat betapa para remaja pria akan uring-uringan menyusun siasat ketika ada yang mengajak teman-teman ceweknya (teman sekolah atau lainnya) untuk bermain ke Lenyai. Dan dengan frekwensi kunjungan yang tidak tentu, makin banyak cerita-cerita seru tercipta di Lenyai.
Namun sayang, belakangan krisis lingkungan membayangi keelokan Lenyai yang awalnya begitu mempesona. Alih fungsi hutan mengancam ekosistem hutan dan meminimalkan persediaan air tanah yang membuat aliran sungai kecil itu semakin kecil. Penebangan hutan untuk kemudian ditanami tanaman industri seperti karet, kopi, kakao dan lain-lain, membuat siklus hidrologi alami terganggu. Pada musim kemarau sungai menjadi kering dan pada musim penghujan erosi mendatangkan banjir bandang dan pengendapan yang mendangkalkan sungai. Nasib sungai kecil di mana Lenyai berada semakin memprihatinkan. Aku tak pernah berhenti berharap, semoga kegersangan hutan kembali tercipta dengan rencana reboisasi itu. Akan butuh waktu untuk memulihkan ekosistem tapi harus dilakukan. Membuat tanah tandus perbukitan berganti menjadi rimbun oleh dedaunan hijau menyegarkan. Pemanfaatan hutan memang harus mengorbankan keindahan Lenyai. Tapi alam akan kembali dan keseimbangan akan menciptakan keindahan. Dengan demikian air tanah kembali berlimpah mengaliri sungai-sungai kecil di antara bebatuan di bawah rimbun pepohonan, beriak jernih menghidupi ekosistem. Dan kembali membuat Lenyai bergemuruh dengan debit air yang semakin besar mengalir melantunkan nyanyian alam.
Semoga Lenyai bisa kembali bergemuruh dan menjadi kebanggaan kecil yang indah. Ya. Lenyai akan abadi di hati ku, dan hati-hati lainnya yang pernah mereguk pesonanya, dihiasi cerita dan kisah seru yang terukir bersama gemericik airnya yang bening menyegarkan dengan penghiburan suasana hijau rindang pepohonan yang nyaman menenangkan.
I long for the sacret silent of Lenyai, and all friends whom I had ever been there with...
***Please support Green Forest Rehabilitation by growing plants for a better ecosystem and wildlife within.
SOCIALIZE IT →