"That's it! Kau tak akan lagi bergantung pada apa pun yang kau anggap kemasyuran. Berbaik hati pada mu hanya akan membuatku merasa jauh lebih buruk dari apa yang bisa terjadi pada hati ku. Kesombongan mu dalam setiap kebohongan yang terujar, dan ketidakadilan yang ku terima hanyalah bentuk pertemanan picik yang kau umbar untuk menunjukkan keunggulan yang kau kira ada. Tapi semua itu hanyalah fatamorgana. Percayalah.. Suatu saat kejayaan akan jatuh berdebum bersama perputaraan roda yang pelan tapi pasti. Dan saat itu, aku tak lagi ada ketika kau sadar bahwa betapa bergunanya memiliki sahabat yang mampu memberi manfaat. Terima kasih dan selamat tinggal!"
Awalnya, harapanku hanyalah sebuah penerimaan. Aku akan meringkuk nyaman di bawah rindangnya pohon persahabatan yang kokoh. Bersandar santai dan terlelaap meresapi kedamaian sambil sesekali merasakan mesranya dedaunan kemuning yang jatuh luruh membelai wajahku yang semakin gerah. Tapi ternyata pohon itu diselubungi semak berduri yang mengancam. Dan kesejukan yang ku angankan hanyalah bias semu dari keakraban yang menipu. Ia tak lagi seperti dulu. Kehidupan telah mengubahnya menjadi begitu mahir memeranklan peran konotatif. Meminimalkan nilai-nilai mulia sebuah persahabatan dalam dirinya yang tak begitu konsisten. Dan aku hanya bisa mengernyit miris mendapati teman yang dulu persuasif tak lagi sensitif.
Detik itu jua aku berjanji. Kejahatan ini harus diakhiri. Aku akan berlalu meninggalkan kepura-puraan yang tidak pasti. Aku akn pergi dan tak akan pernah kembali. Menepi menghindari sakit hati yang semakin menjadi. Melindungi harga diri dari kesombongan yang tidak pantas untuk dikasihani. Aku akan melepas peluang dan menelan kegalauan hidup yang gamang. Dengan tidak memikirkan aspirasi lagi dan tanpa memberikan peluang untuk kompromi, aku meninggalkan kepura-puraan dari wajahnya yang durjana. Membirkannya terpana, bingung dan bertanya-tanya. Masa bodoh. Ku biarkan ia mencerna keadaan, belajar dari kesalahan jika memang ia adalah seorang teman yang arif dan sepaham. Tapi aku tak akan heran jikalau ia mampu menyadari atau bahkan menyesali kekeliruan. Dan aku benar. Ia tak pernah sadar setelah melakukan kesalahan dan menyadari bahwa ia telah kehilangan seorang teman.
“Ben, please come here. I don’t even recognize what I was doing wrong back then. Now, please help me with what I’m doing. You’re always more than welcome. Reply me if you decide to visit me. Thanks.”
Sebuah pesan tibah-tiba yang menyudutkan ketenanganku. Mengisyaratkan pengakuan yang menyulut ingatanku kembali ke masa penuh amarah ketika aku berontak menaggapi perlakuan. Ia telah melukai persahabatan yang rentan. Luka yang cukup perih untuk ku tahan dan membuatku kalap. ‘Lobang’ itu akan tetap ku tandai sehingga aku akan selalu sadar untuk tak ku lewati lagi.
Kini aku terjebak dalam dilema kebaikan hati ku. Bingbang untuk memaafkannya atau untuk merelakan ia tak lagi ada. Membuatku kembali berpikir bahwa persahabatan dulu sangat berbeda. Ketika aku merangkulnya tatkala tak ada yang mau membimbing tangannya. Melibatkan ia dalam begitu banyak cerita ketika lingkungannya hanyalah tempurung sempit yang tak bermakna. Menunjukkannya kebanggaan demi kebanggaan yang bisa menajdi kisah seru setelah masa diasah waktu. Berbagi kenangan yang membuat persahabatan terasa berkesan. Dia adalah saudara dalam kesaharian. Teman dalam perjalanan. Dan sahabat dalam kesukaran mau pun keceriaan. Rasanya kana tetap demikian sepanjang alam berpedoman zaman. Sampai akhirnya dimensi menunjukkan segalanya. Ia menjadi sangat berbeda ketika prestise merunut acuan yang meracuni jiwa. Dan aku kecewa ketika menyadari rumor itu merujuk ke fakta. Sepoi-sepoi sentilan yang pernah ku anggap sinis belaka. Ternyata buktid dari penyangkalan yang merujuk pada ia bukan seperti apa adanya.
Sekarang aku biasa mengerti. Hidup tak selalu berseri seperti yang selalu kita ingini. Walau pun selama ini aku berusaha maksimal bertahan dengan perinsip bahwa teman adalah kemuliaan, dan berpikiran positif terhadap kekeliruan apa pun akan mendatangkan pemahaman. Tapi memang teman tak selalu bisa menjadi sahabat. Aku akan tetap bertahan dengan pengalaman dan memperoleh pengajaran. Kenyataan bahwa selain ketulusan hidup ku akan selalu dikelilingi orang-orang yang bangga menyebut dirinya teman. Walau pun itu hanya bualan yang menyesatkan. Tak peduli seberapa kuat pun aku menyangkal bahwa setiap orang punya alasan untuk bersalah. Meski pun aku akan selalu memilah hingga akhirnya berpasrah, harus ku akui terkadang aku salah melangkah. Berusaha menjadi berarti tapi malah tersakiti hanya karena berada ditempat dan bersama orang yang salah.
Aku semakin lelah berpacu dengan kebesaran hati untuk bisa memaklumi kekerdilan jiwa orang-orang yang mudah menghakimi ketidakberuntungan. Terkadang aku jatuh dan tersungkur di jalan berpasir diiringi cemooh suara sumbang yang familiar menyulut emosi bersimbah benci. Meski demikian aku akan tetap berusaha sempurna melawan kenyataan betapa sulitnya memahami kejahatan orang lain yang mengaku teman. Aku hanya akan menahan, selanjutnya biarlah waktu yang menemukan alasan kenapa aku harus memaafkan atau mencari pembenaran. Karena aku selalu tahu, akan terus ada orang yang mencoba mengaktualisasikan diri dengan ekspresi yang salah. Yang berupaya membuat kekuatan ku menjadi kelemahan dan membuatku lelah bertahan menggapai kemuliaan. Dan aku juga selalu yakin bahwa di luar
"Baiklah Teman, Aku memaafkanmu. Tapi kau harus menunggu ratusan tahun untuk bisa menemukan teman sepertiku. Karena ini lah akhir dari petualangan itu. Rasanya kerelaan tak lagi cukup untuk membuatku iri terhadap persahabatan naif yang kau janjikan. Dan aku cukup ceria dengan pilihan apa pun adanya diri ku. Dan bahagia menyadari engkau menyesali ketidakhadiran diri. Bukti bahwa masih banyak teman-teman terbaik yang mendambakan setia ku memuliakan persahabatan. Adios!"



SOCIALIZE IT →