Assalamualaikum...
Persembahan dari hati,
Kepada: Cinta yang setia
Dimana pun engkau kini berada...
Kepada: Cinta yang setia
Dimana pun engkau kini berada...
Apa kabarmu hari ini, Cinta? Memang dunia senantiasa berputar seperti halnya roda yang terus menggelinding laju, kadang di atas dan kadang di bawah. Laksana jalan yang biasa kita lalui ketika melangkahkan kaki di pagi hari, ada tanjakan, turunan, atau bahkan kita menemui jalan datar yang menyenangkan. Begitulah esensi hidup ini sebenarnya, wahai buah hatiku. Pergiliran antara sehat dan sakit, senang dan sedih akan terus silih berganti terjadi dalam setiap episode kehidupan, sama seperti halnya yang terjadi dalam rentang hidup mu dan hudupku. Rasanya aku ingin senantiasa berharap engkau selalu berada dalam keadaan sehat dan penuh kesenangan, tapi kemudian setelah aku renungkan kembali, apakah ada yang salah jika pun suatu saat Allah memberikan rasa sakit dan kesedihan kepada dirimu sayang? Aku meyakini dan mepahami bahwa di dunia ini tidak ada yang sia-sia, selalu ada hikmah dan pelajaran penting di balik semua peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita. Dan kini sepertinya agak kurang bijak, jika aku hanya senantiasa berharap engkau selalu ada dalam keadaan sehat dan senang, padahal Allah yang menciptakan kita justru senantiasa mempergilirkan keduanya, dengan tujuan kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran di balik peristiwa-peristiwa tersebut. Kesimpulannya, aku tidak akan pernah mengharapkan ada duka dalam teduh cahaya matamu. Tetapi apapun kini keadaanmu, aku akan senantiasa berharap engkau selalu ada dalam lindungan-Nya, dan engkau senantiasa diberikan kekuatan untuk bisa mengambil hikmah dari apapun keadaan dan peristiwa yang kini menimpamu.
Sayang...
Banyak yang ingin aku berikan kepadamu, karena hakikat cinta yang aku ketahui adalah ketika seseorang bisa memberi, tetapi masalahnya sungguh aku tidak memiliki apapun yang bisa aku berikan kepadamu. Harta tiada apalagi ilmu yang barangkali bisa kubagi untukmu. Rasanya aku pernah dengan jujur berkata kepadamu, jika aku hanyalah seorang pengembara yang lemah dengan segala ketidakberdayaanku. Jadi, maafkan jika aku hanya ingin berbagi cerita kepadamu tentang untaian hikmah yang senantiasa menjelang dalam setiap tarikan nafasku. Aku tidak terlalu berharap untaian hikmah itu akan mampu membuatmu lebih baik, tapi setidaknya engkau tahu jika aku senantiasa ingin memberi untukmu, karena aku ingin mencintaimu dengan setulus hati, setulus cinta yang seharusnya menurut Sang Maha Kuasa. Cinta yang tak terkotori nafsu duniawi, cinta yang mendorong dua insan yang saling mencintai untuk senantiasa menjadi kekasih-Nya.
Sayang...
Kemaren aku merasa sangat kesepian ketika orang-orang semakin sibuk dengan aktivitas keseharian mereka, sementara kau hanya berdiri termangu di sudut hari yang semakin menjemukan. Ku coba semangati hati ini dengan berjalan-jalan menyusuri hiruk-pikuk perkotaan yang semakin akrab dengan keberadaanku. Tanpa tujuan yang pasti ku langkahkan kaki menapaki sore yang kian semburat di ufuk barat menawarkan warna-warna jingga yang indah di bulir awan senja yang menggumpal di kaki langit. Setelah sekian lama menjajaki kesunyian di tengah keramaian suasana Jakarta, aku hanya semakin terbelenggu sepi yang terasa kian kental menggelayut di relung sanubariku, ku coba berbagisenyum dengan benyak orang yang berbeda di sepanjang jalan tak berujung. Namun semakin ku berusaha semakin aku mengerti bahwa pada akhirnya aku hanya menemukan diriku sendiri dikelilingi orang-orang ramah yang sebenarnya tak pernah peduli dengan keberadaanku yang kentara. Yang ku dapatkan hanya basa-basi dan senyum tak bermana yang terpaksa mereka berikan untuk mencerahkan hari yang sebenarnya sudah cerah sedari pagi ketika fajar menjelang hari ini. Langkahku pun semakin gontai dibayangi kesendirianku yang semakin berani mencela kesendirianku yang menggigil.
Seketika aku terpikir untuk menenangkan pikiranku yang semakin kacau karena kenyamana dengan mampir sebentar ke Toko Buku Gramedia. Berputar-putar diantara jejalan barang-barang yang dipajang dengan harga selangit, berdiri termangu mengagumi seni yang tak mampu ku beli, dan berhenti menganalisa kerumitan menggelikan pada ornamen unik yang tak mesti ku miliki. Kemudian, aku pun berjalan menuju bagian terfavorit dari sebuah toko buku sekaliber Gramedia, deretan buku dengan huruf warna-warni dan dengan gaya grafis menarik yang menggoda hati untuk dibeli yang di dalamnya tersembunyi pengetahuan dan inspirasi yang tersembunyi di antara helai lembarannya. Berdiri cukup lama di bagian komputer mencuri ilmu web-networking dari beberapa buku dan tertarik dengan beberapa novel tebal yang menjanjikan cerita-cerita penuh illustrasi dan pertualangan. Sampai akhirnya aku tertahan di bagian satra.
Sayang...
Entah kenapa akhir-akhir ini aku sepertinya semakin adiktif dengan pengungkapan rasa, terutama apa yang aku ingin ucapkan pada dunia tapi pikiran logis melarangku dengan alasan normatif ketimuran yang biasa. Banyak hal sebenarnya yang ingin ku teriakkan tetap bergulung gelisah dalam relung pikiranku. Menggellitik imajinasiku memainkan kata-kata untuk menggambarkan ide-ide liar tentang keseharian yang tertahan di sudut terdalam inspirasiku. Aku membelai mesra buku-buku yang menggada hasrat edukasiku, dan berkutat melawan keinginan untuk memiliki setiap buku dengan judul-judul yang menjanjikan. Ku susuri setiap buku yang ada di rak. Mataku kini mulai melirik ke buku-buku karya Kahlil Gibran yang memang cukup banyak dipajang, ada berbagai judul dan kemudian aku buka satu persatu. Bagus-bagus juga yah, tapi mana yang harus aku pilih? Jadi bingung. Akhirnya mataku tertuju pada sebuah buku yang berjudul “Gibran... Love Letters - Sura-Surat Cinta”. Buku ini berisikan surat surat cinta Kahlil Gibran kepada kekasih mayanya, May Zaidah. Setelah kubaca sekilas, tiba-tiba saja terbersit sebuah ide. Sebuah surat cinta. Aku pun akhirnya tak membeli buku apa pun selain mencuri pengetahuan dan mendapatkan sebuah ide. Gagasan yang kemudian melahirkan tulisan ini sebagai ungkpan dari hatiku yang resah didera kerumitan hidup. Namun tidak meluruhkan niatku untuk tetap mengingatmu dalam redupnya cahaya penantian yang membosankan. Sekarang, akan coba mengutip salah satu buku Gibran yang berhasil aku ingat dengan agak mengernyit, mengingat aku selalu lupa hal-hal seperti ini (alasan ku tetap klasik, deraan 'mild temporary amnesia'). Berikut rangkuman keromantisan inspiratif yang tertulis sebagai pengantar:
Kemaren aku merasa sangat kesepian ketika orang-orang semakin sibuk dengan aktivitas keseharian mereka, sementara kau hanya berdiri termangu di sudut hari yang semakin menjemukan. Ku coba semangati hati ini dengan berjalan-jalan menyusuri hiruk-pikuk perkotaan yang semakin akrab dengan keberadaanku. Tanpa tujuan yang pasti ku langkahkan kaki menapaki sore yang kian semburat di ufuk barat menawarkan warna-warna jingga yang indah di bulir awan senja yang menggumpal di kaki langit. Setelah sekian lama menjajaki kesunyian di tengah keramaian suasana Jakarta, aku hanya semakin terbelenggu sepi yang terasa kian kental menggelayut di relung sanubariku, ku coba berbagisenyum dengan benyak orang yang berbeda di sepanjang jalan tak berujung. Namun semakin ku berusaha semakin aku mengerti bahwa pada akhirnya aku hanya menemukan diriku sendiri dikelilingi orang-orang ramah yang sebenarnya tak pernah peduli dengan keberadaanku yang kentara. Yang ku dapatkan hanya basa-basi dan senyum tak bermana yang terpaksa mereka berikan untuk mencerahkan hari yang sebenarnya sudah cerah sedari pagi ketika fajar menjelang hari ini. Langkahku pun semakin gontai dibayangi kesendirianku yang semakin berani mencela kesendirianku yang menggigil.
Seketika aku terpikir untuk menenangkan pikiranku yang semakin kacau karena kenyamana dengan mampir sebentar ke Toko Buku Gramedia. Berputar-putar diantara jejalan barang-barang yang dipajang dengan harga selangit, berdiri termangu mengagumi seni yang tak mampu ku beli, dan berhenti menganalisa kerumitan menggelikan pada ornamen unik yang tak mesti ku miliki. Kemudian, aku pun berjalan menuju bagian terfavorit dari sebuah toko buku sekaliber Gramedia, deretan buku dengan huruf warna-warni dan dengan gaya grafis menarik yang menggoda hati untuk dibeli yang di dalamnya tersembunyi pengetahuan dan inspirasi yang tersembunyi di antara helai lembarannya. Berdiri cukup lama di bagian komputer mencuri ilmu web-networking dari beberapa buku dan tertarik dengan beberapa novel tebal yang menjanjikan cerita-cerita penuh illustrasi dan pertualangan. Sampai akhirnya aku tertahan di bagian satra.
Sayang...
Entah kenapa akhir-akhir ini aku sepertinya semakin adiktif dengan pengungkapan rasa, terutama apa yang aku ingin ucapkan pada dunia tapi pikiran logis melarangku dengan alasan normatif ketimuran yang biasa. Banyak hal sebenarnya yang ingin ku teriakkan tetap bergulung gelisah dalam relung pikiranku. Menggellitik imajinasiku memainkan kata-kata untuk menggambarkan ide-ide liar tentang keseharian yang tertahan di sudut terdalam inspirasiku. Aku membelai mesra buku-buku yang menggada hasrat edukasiku, dan berkutat melawan keinginan untuk memiliki setiap buku dengan judul-judul yang menjanjikan. Ku susuri setiap buku yang ada di rak. Mataku kini mulai melirik ke buku-buku karya Kahlil Gibran yang memang cukup banyak dipajang, ada berbagai judul dan kemudian aku buka satu persatu. Bagus-bagus juga yah, tapi mana yang harus aku pilih? Jadi bingung. Akhirnya mataku tertuju pada sebuah buku yang berjudul “Gibran... Love Letters - Sura-Surat Cinta”. Buku ini berisikan surat surat cinta Kahlil Gibran kepada kekasih mayanya, May Zaidah. Setelah kubaca sekilas, tiba-tiba saja terbersit sebuah ide. Sebuah surat cinta. Aku pun akhirnya tak membeli buku apa pun selain mencuri pengetahuan dan mendapatkan sebuah ide. Gagasan yang kemudian melahirkan tulisan ini sebagai ungkpan dari hatiku yang resah didera kerumitan hidup. Namun tidak meluruhkan niatku untuk tetap mengingatmu dalam redupnya cahaya penantian yang membosankan. Sekarang, akan coba mengutip salah satu buku Gibran yang berhasil aku ingat dengan agak mengernyit, mengingat aku selalu lupa hal-hal seperti ini (alasan ku tetap klasik, deraan 'mild temporary amnesia'). Berikut rangkuman keromantisan inspiratif yang tertulis sebagai pengantar:
“Ikatan cinta yang menyatukan kedua penulis Lebanon yang tinggal di bagian dunia yang berbeda ini, jarang sekali ditemukan. Ada memang hubungan cinta yang dimulai dengan surat-menyurat dan kemudian berkembang menjadi hubungan normal. Lazimnya, orang menjalin hubungan yang terbatas pada surat menyurat setelah berkenalan dulu sebelumnya. Uniknya, Gibran dan May Zaidah saling mengenal hanya lewat surat-menyurat dan dari karya masing-masing. Mereka tidak pernah bertemu, kecuali dalam imajinasi dan mimpi mereka, melalui pengembaraan roh mereka dalam mencari realitas abadi dan saling mencari sebagai roh yang sama”.
Sayang...
Sekarang aku akan memberikan yang terbaik untuk hidupku. Sesulit apa pun keadaan aku akan tetap memotivasi diriku supaya tetap bertahan. Dan aku akan selalu membutuhkan dukungan dan doa dari orang-orang yang ada di hatiku, termasuk dirimu sayang. Aku hanya mengharapkan keikhlasan dalam doa-doa itu, bukan untuk ikut meresapi makna di dalam penderitaanku. Walau memang harus dengan jujur aku katakan rasanya begitu berat menjalani kehidupan ini tanpa kebanggaan apa pun, tanpa prestise yang cukup mumpuni untuk menjadikan aku sebagai pria yang mapan dengan pengalaman dan materi. Sementara waktu dan keadaan terus menuntut pembuktian bahwa aku bisa menjadi sesuatu yang pantas untuk dibanggakan. Dengan begitu banyak pemikiran membelit otakku yang semakin lelah berharap, aku hanya bisa bertahan dengan tangan menadah penuh keyakinan berpegang erat pada bingkai-bingkai mimpi yang masih rapuh dan mengabur di kabut jingga. Rasanya tidak lah bijaksana jika aku harus membuatmu berfikir bahwa aku cukup pantas untuk dikasihani. Aku tidak ingin dikasihani. Aku hanya ingin dipahami, karena pemahaman membawa kenyamanan.
Andai kan engkau berada tidak terlalu jauh dari tempatku berada, aku ingin berharap engkau bisa ikut meresapi kesendirianku yang membelenggu ini. Tapi karena engkau jauh nun di seberang lautan sana, aku hanya berharap suatu saat engkau bisa melihat atau bahkan merasakan betapa terkadang kesunyian bisa membunuh dengan sangat tidak berbelaskasihan. Kini dimanapun engkau berada, cinta, ketahuilah ada cukup hiburan bagi diriku hanya dengan mengenang dirimu, dengan membayangkan masa-masa indah bersamamu.
Sayang...
Kini malam telah menarik kerudung gelapnya diatas angkasa gemerlap. Cukup sudah rasanya aku mengguratkan keadaanku, dan aku tidak bisa melihat lagi apa yang ditulis oleh tanganku. Beribu salam dan ucapan selamat untukmu saudaraku, dan semoga Allah senantiasa melindungi dan menjagamu selalu.
Haruskah aku tersenyum penuh bahagia karena menjadi sahabatmu, atau menangis dalam perih derita karena tak bisa lebih dari itu. Sekali lagi, aku hanya mengahrapkan doa penuh ketulusan darimu.
"Tubuh mempunyai keinginan yang tidak kita ketahui. Mereka dipisahkan karena alasan duniawi dan dipisahkan di ujung bumi. Namun jiwa tetap ada di tangan cinta... terus hidup... sampai kematian datang dan menyeret mereka kepada Tuhan...
Kemarin aku sendirian di dunia ini, kekasih; dan kesendirianku... sebengis kematian... Kemarin diriku adalah sepatah kata yang tak bersuara..., di dalam pikiran malam. Hari ini... aku menjelma menjadi sebuah nyanyian menyenangkan di atas lidah hari. Dan, ini berlangsung dalam semenit dari sang waktu yang melahirkan sekilasan pandang, sepatah kata, sebuah desakan dan... sekecup ciuman"
*Terinspirasi dari Surat Cinta Kahlil Gibran kepada May Zaidah
NB: Bersama aliran darah yang mengalir dalam setiap tarikan nafasku, dan bersama semilir angin di keheningan malam berhiaskan tetaburan bintang, aku berharap engkau menyadari kegamanganku, agar aku semakin bisa berjalan dengan tegar dalam langkah pengembaraanku yang panjang.
Dengan segenap hatiku
Sincerely yours,
SOCIALIZE IT →