Aku senang, ketika melihatmu kembali mengunjungi taman ini. Duduk sendiri, merenung di bangku taman yang rindang, rimbun, sejuk dan asri. Sementara di hadapanmu terbentang luas cakrawala mempesona, rumput hijau segar, air bening mengalir tenang bergemericik segar terdengar. Pandang matamu kau layangkan jauh. Kau sendiri. Mencari. Menanti.
Kau diam ketika kuhampiri, duduk tenang kudampingi. Kau tahu ketika aku hadir dalam diam disampingmu, tetapi menolak bereaksi. Diam membisu. Aku datang dalam inginku sendiri, kau tidak merasa terganggu.
“Kau lihat orang-orang itu?” tanyaku tak berjawab.
Semua orang yang terlihat senang, bergembira, riang, ceria di taman ini, atau pun yang terlihat santai, damai itu, sebagian besar datang atas ajakanku, tak pernah dalam pikiran mereka terbersit keinginan untuk berada disini. Aku mengenal rasa tidak suka mereka atas situasi, rasa benci terhadap dunia, atau ketidakberdayaan diri, perasaan hilang kendali atas keinginan, putus asa. Kuajak setiap orang itu datang kesini, membebaskan mereka dari derita, mereka gembira. Mereka terlihat bahagia. Bibirmu mengulas senyum tipis ketika memandang mereka. Aku tak tahu alasanmu datang kemari, belum pernah aku mengajakmu sekalipun, seperti juga kau tidak pernah berpikir memintaku menghampirimu. Tapi aku senang dengan hadirmu. Kita berdua penuh tanya.
Ya, kau mengenalku. Sudah mengenalku seperti aku mengenal asal terciptamu, kita memiliki sejarah panjang yang berbelit. Tak terurai benang kehidupan. Menjalin menyatu dalam kusutnya perjalanan waktu. Tak terpisahkan sejak awal masa. Seperti juga malaikat dan makhluk lainnya dalam alam raya. Kita sudah saling mengenal sejak lama. Aku bahkan bisa membaca apapun yang terpikirkan olehmu. Sama seperti kau tak tahu pikiranku, aku juga tak mengetahui isi hatimu. Tapi kita bisa saling bicara tanpa kata. Seperti sebelumnya.
Tuhan maha mengetahui segalanya. Itulah awal percakapan kita. Ketika banyak orang-orang berusaha menyangkal keberadaanku, menampiskan kehadiranku, menceritakan banyak hal buruk tentangku kepada sesamanya, bahwa aku adalah sesuatu yang wajib dimusnahkan - padahal mereka sepenuhnya menyadari bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut, hah! memusnahkanku, terkadang aku geli sendiri - menolak kenyataan bahwa aku ada di antara mereka. Mereka mengajarkan kepada sesamanya untuk memusuhiku, bahkan untuk menyebut namaku saja mereka harus menyertakan segala kutukan dan sumpah serapah. Manusia memilih kebenarannya sendiri.
Aku adalah iblis, kalian adalah manusia. Anak cucu Adam yang mulia. Ciptaan yang paling sempurna.
Aku tahu kau diajarkan bahwa manusia memiliki akal dan pikiran. Bahwa itu yang membedakan antara kalian dengan makhluk lain. Tapi apakah benar jika - berpikir - hanya manusia yang diberikan hal tersebut? Tidakkah hewan, tumbuhan, bahkan jin dan setan memilikinya? Mungkinkah mereka semua hanya berpikir dalam bentuk dan dimensi yang tidak sama? Mengapa mereka tahu hal-hal yang tidak kau ketahui? Pernah kau merasa pikiran yang kau miliki amat terbatas. Kau diam, tapi pikiranmu tidak menolak ataupun membenarkanku.
”Keterbatasan membuat manusia selalu ingin tahu” pikirmu kemudian.
”Ya, dan ketika rasa ingin tahu itu tidak terpuaskan, manusia cenderung mencari pembenaran, menciptakan realitas semu dalam pikirannya” aku menanggapi segera, senang atas reaksimu.
Kau kembali diam, bersandar dan menghela nafas, menatap langit sore, awan dan burung-burung terbang lincah menyusuri angin di bawah sayapnya.
Aku tahu aku sudah menarik perhatianmu, terbersit percikan pertanyaan dalam pikiranmu.
”Bagaimana kau membedakan kenyataan dan ilusi?” tanyaku kembali.
”Bagaimana mengenali kebenaran dan kesalahan?” aku mencoba mengobarkan nyala dalam logikamu.
Dalam pikiranmu kulihat alur keraguan, ketika bagian otakmu bekerja memilah kenangan akan peristiwa yang benar- benar kau alami secara fisik dan terasa nyata, dan hal-hal yang kau pelajari melalui media lain selama ini. Kau ragu. Rasa ragu seperti api menjalar sangat cepat, membuatmu mempertanyakan kembali semua yang telah kau lalui dan pelajari. Benar-benar permainan yang sangat menyenangkan untuk dinikmati, mengikuti alur pemikiran manusia, yang cepat dan tidak terduga. Aku benar- benar senang. Dan akui lah, kau juga menikmati. Tuhan maha mengetahui segalanya. Kita berdua menyadari itu sepenuhnya. Dari situ aku ingin memulai, dan kau setuju. Bukankah dari awalnya kita yakin Tuhan yang mencipta. Semua pengetahuan yang dimiliki dan dipelajari, bagaimanapun penjelasannya, berawal dari satu zat tunggal, semuanya meyakini itu. Benar Tuhan maha mengetahui segala hal. Dan tidakkah Tuhan memandang kita sama ? Ciptaan-Nya, hasil kreasi ketuhanan. Kejadian setelah penciptaan lah yang sesungguhnya lebih menarik bagi kita, karena di sana lah peristiwa awal kita mulai saling meyakini bahwa kita tidak cocok satu sama lain. Manusia merasa aku terlalu tinggi hati, hingga lancang menolak perintah Tuhan untuk sujud kepada Adam - yang kemudian kalimatnya berubah menjadi sombong, angkuh, dan durhaka kepada Tuhan, itulah yang diajarkan manusia pada anak cucunya - padahal aku merasa kami setara, sama-sama ciptaan Tuhan, seperti juga malaikat yang diciptakan sebelum kami. Aku tidak pernah mau sesungguhnya, sujud kepada malaikat, begitu juga malaikat kepadaku. Kami hanya sujud kepada Tuhan. Kami menjalankan perintah Tuhan dengan sungguh-sungguh. Tuhan maha mengetahui segalanya. Tuhan pastinya juga tahu aku akan menolak ketika disuruh sujud kepada selain Ia. Maka menurut manusia aku durhaka, aku terkutuk karena berani menolak perintah Tuhan, dan manusialah yang paling patuh mengabdi kepada-Nya.
Kau diam, pikiranmu mencerna kalimatku, seperti lambung mencerna makanan. Kau endapkan, dan semuanya secara otomatis bereaksi. Mari kuceritakan sedikit kondisi yang mungkin bisa kau pahami ketika itu. Sebenarnya secara logika, Adam adalah satu-satunya makhluk yang belum memiliki tujuan keberadaan yang jelas di sana, pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. Tidak seperti aku dan malaikat yang yakin harus berbuat apa. Kesendirian Adam dalam ketidak tahuannya membuatnya merasa terkucil. Secara logika, Adam menganggur, membuatnya memiliki banyak waktu luang, akibatnya ia memikirkan dan menginginkan hal- hal lain. Adam meminta Hawa - dan Tuhan maha mengabulkan permintaan - untuk menemani kesendiriannya, dari pada memilih berbaur bersama kami menjalankan fungsi masing-masing, tidakkah menurutmu itu sedikit berlebihan? Meminta sesuatu sebelum mengabdi. Adam tidak fokus dan selalu ingin tahu. Hal itu sungguh-sungguh menarik perhatianku. Selanjutnya manusia memiliki versi mereka sendiri-sendiri tentang cerita tersebut yang berkembang sampai saat ini. Yang jelas keingintahuan mereka sendiri yang membuang mereka dari sana. Sedangkan Tuhan maha mengetahui segala hal.
Matamu masih memandang semua orang di taman ini, semua masih terlihat gembira dalam indahnya suasana sore, tetapi pikiranmu sudah bertualang jauh menjelajah waktu bersamaku. Sungguh seru. Kau berpikir sekarang manusia sudah dapat menerima itu semua sebagai takdir yang harus mereka jalani.
”Harus kita akui, kalau kita jadi sedikit emosi jika menyangkut hal ini” ujarku, yang tidak ditanggapi olehmu, seperti sebelumnya, kau diam dalam ragu. Aku menyalahkan kebimbangan Adam, sedangkan manusia menyalahkan aku, menurut mereka aku memanfaatkan kelemahan Adam. Walaupun akhirnya kami harus menerima konsekuensi berada disini, di dunia ini, sampai kini. Masing- masing pihak beranggapan ini hukuman karena kesalahan pihak lain. Masing-masing merasa benar. Semuanya menggugat. Demi Tuhan pemilik semua kebenaran. Orang- orang tetap ramai di taman yang indah itu. Semua gembira. Benar- benar sore yang terlihat sempurna.
”Kami menganggap Tuhan tidak adil” ujarku kemudian.
Kau terusik ketika mendengar pernyataan ”kami” bahwa Adam juga sependapat denganku. Kau diajarkan untuk menghormati leluhurmu. Kau tidak suka pandangan mereka berbuat salah. Sore menjelang akhir, ketika kita masih mengikuti kereta pemikiran yang melaju sangat kencang, sehingga pada titik ini tidak mungkin bisa mengurangi lajunya. Mustahil menghentikannya sekarang. Kembali aku bertanya, “Kau pikir hidup di dunia ini, tidak akan pernah mati, sampai akhir saat kiamat adalah anugerah bagiku?” sementara banyak manusia ingin berumur panjang. Hidup di dunia selamanya?
Kau diam membisu, logikamu bekerja cepat seperti mekanisme otomatis, tapi kali ini sangat cepat, aku tahu kau terhanyut. Tiba-tiba saja pikiranmu muncul.
”Tidak, abadi selamanya bagimu adalah suatu kutukan, melihat semua kehidupan berlalu dihadapanmu tanpa tahu kenapa. Tanpa tahu apa artinya”
”Apa kau juga berpikir aku marah dan berusaha melakukan kudeta terhadap rencana Tuhan ? bahkan mungkin ingin menjadi Tuhan?” tanyaku.
Kembali segalanya berkecamuk dalam pikiranmu, diantara berjuta kebimbangan itu jawabanmu muncul dengan tenang.
”Tidak, kau dan aku tahu tidak ada kekuatan di alam raya ini yang bisa mengalahkan Tuhan, kaulah yang benar- benar menyadari itu, kau hanya memanfaatkan kesalahan manusia, membuat manusia berpikir mereka bisa melakukan hal-hal yang dilakukan Tuhan. Membuat mereka merasa bisa menjadi Tuhan atas perbuatan mereka. Kau menyadari sepenuhnya hanya manusia yang berpikir mereka bisa menjadi Tuhan. Dan kau hanya mengalirkan keinginan itu, seperti yang dulu kau lakukan pada firaun dan banyak manusia sebelum dan sesudahnya”
Aku mengajukan satu pertanyaan keberatan lagi, menutupi gusarku akan jawabanmu.
”Apa kau juga berpikir, dalam upayaku menyesatkan manusia, atau apapun itu segala kejahatan yang dituduhkan manusia kepadaku, aku akan mengambil bentuk- bentuk menyeramkan – dengan taring, tanduk, dan semua bentuk tubuh aneh yang menakutkan itu - seperti yang selalu digambarkan dalam cerita-cerita anak manusia sepanjang sejarah zaman?”
Dalam amuk badai pikiranmu, kau menjawab dengan tenang dan tentram, merasa damai seakan- akan telah menyadari suatu hal penting.
”Tidak! Kau selalu muncul dalam bentuk terbaik yang bisa dibayangkan, kau muncul dalam solusi yang terasa paling tepat, jalan keluar tercepat yang bisa ditawarkan dari sebuah situasi. Obat paling manis yang ternyata racun dalam kenyataan. Kau membawa semu, diinginkan hasrat yang tidak mau berubah menjadi lebih baik.”
Akhirnya kau tersenyum lega, berdiri mengakhiri perbincangan kita tanpa kata, menghentikan laju kereta pemikiranmu secara mendadak. Aku terhempas. Pikiranmu tenang lagi dan entah kenapa, kurasa hatimu telah tetap. Kau melihat kembali pada orang-orang yang terlihat gembira di taman itu, senja sudah menjelang matahari yang tenggelam. Mereka tidak bisa berhenti gembira. Kau memandang untuk terakhir kalinya sebelum berlalu, mereka terlihat lelah. Kakimu sudah melangkah tenang meninggalkanku, ketika kuteriakkan tanya.
”Mengapa manusia masih tidak yakin pada Tuhan yang sebenarnya?”
”Mengapa mereka saling bunuh demi Tuhan yang bebeda?”
Angin membawa pergi pertanyaan
Aku kesepian. Aku kembali sendiri.
Nanti, datanglah lagi.
Ingin kuceritakan tentang surga dan neraka.
Tentang bisnis properti paling sempurna.
Datanglah lagi, nanti.
Kita akan bercerita lebih jauh tentang jiwa alam raya.
Demi Tuhan yang maha mengetahui segalanya.
Aku menyukaimu.
Aku akan selalu mendampingimu.
Biarkan aku jadi sahabatmu...
Kau diam ketika kuhampiri, duduk tenang kudampingi. Kau tahu ketika aku hadir dalam diam disampingmu, tetapi menolak bereaksi. Diam membisu. Aku datang dalam inginku sendiri, kau tidak merasa terganggu.
“Kau lihat orang-orang itu?” tanyaku tak berjawab.
Semua orang yang terlihat senang, bergembira, riang, ceria di taman ini, atau pun yang terlihat santai, damai itu, sebagian besar datang atas ajakanku, tak pernah dalam pikiran mereka terbersit keinginan untuk berada disini. Aku mengenal rasa tidak suka mereka atas situasi, rasa benci terhadap dunia, atau ketidakberdayaan diri, perasaan hilang kendali atas keinginan, putus asa. Kuajak setiap orang itu datang kesini, membebaskan mereka dari derita, mereka gembira. Mereka terlihat bahagia. Bibirmu mengulas senyum tipis ketika memandang mereka. Aku tak tahu alasanmu datang kemari, belum pernah aku mengajakmu sekalipun, seperti juga kau tidak pernah berpikir memintaku menghampirimu. Tapi aku senang dengan hadirmu. Kita berdua penuh tanya.
Ya, kau mengenalku. Sudah mengenalku seperti aku mengenal asal terciptamu, kita memiliki sejarah panjang yang berbelit. Tak terurai benang kehidupan. Menjalin menyatu dalam kusutnya perjalanan waktu. Tak terpisahkan sejak awal masa. Seperti juga malaikat dan makhluk lainnya dalam alam raya. Kita sudah saling mengenal sejak lama. Aku bahkan bisa membaca apapun yang terpikirkan olehmu. Sama seperti kau tak tahu pikiranku, aku juga tak mengetahui isi hatimu. Tapi kita bisa saling bicara tanpa kata. Seperti sebelumnya.
Tuhan maha mengetahui segalanya. Itulah awal percakapan kita. Ketika banyak orang-orang berusaha menyangkal keberadaanku, menampiskan kehadiranku, menceritakan banyak hal buruk tentangku kepada sesamanya, bahwa aku adalah sesuatu yang wajib dimusnahkan - padahal mereka sepenuhnya menyadari bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut, hah! memusnahkanku, terkadang aku geli sendiri - menolak kenyataan bahwa aku ada di antara mereka. Mereka mengajarkan kepada sesamanya untuk memusuhiku, bahkan untuk menyebut namaku saja mereka harus menyertakan segala kutukan dan sumpah serapah. Manusia memilih kebenarannya sendiri.
Aku adalah iblis, kalian adalah manusia. Anak cucu Adam yang mulia. Ciptaan yang paling sempurna.
Aku tahu kau diajarkan bahwa manusia memiliki akal dan pikiran. Bahwa itu yang membedakan antara kalian dengan makhluk lain. Tapi apakah benar jika - berpikir - hanya manusia yang diberikan hal tersebut? Tidakkah hewan, tumbuhan, bahkan jin dan setan memilikinya? Mungkinkah mereka semua hanya berpikir dalam bentuk dan dimensi yang tidak sama? Mengapa mereka tahu hal-hal yang tidak kau ketahui? Pernah kau merasa pikiran yang kau miliki amat terbatas. Kau diam, tapi pikiranmu tidak menolak ataupun membenarkanku.
”Keterbatasan membuat manusia selalu ingin tahu” pikirmu kemudian.
”Ya, dan ketika rasa ingin tahu itu tidak terpuaskan, manusia cenderung mencari pembenaran, menciptakan realitas semu dalam pikirannya” aku menanggapi segera, senang atas reaksimu.
Kau kembali diam, bersandar dan menghela nafas, menatap langit sore, awan dan burung-burung terbang lincah menyusuri angin di bawah sayapnya.
Aku tahu aku sudah menarik perhatianmu, terbersit percikan pertanyaan dalam pikiranmu.
”Bagaimana kau membedakan kenyataan dan ilusi?” tanyaku kembali.
”Bagaimana mengenali kebenaran dan kesalahan?” aku mencoba mengobarkan nyala dalam logikamu.
Dalam pikiranmu kulihat alur keraguan, ketika bagian otakmu bekerja memilah kenangan akan peristiwa yang benar- benar kau alami secara fisik dan terasa nyata, dan hal-hal yang kau pelajari melalui media lain selama ini. Kau ragu. Rasa ragu seperti api menjalar sangat cepat, membuatmu mempertanyakan kembali semua yang telah kau lalui dan pelajari. Benar-benar permainan yang sangat menyenangkan untuk dinikmati, mengikuti alur pemikiran manusia, yang cepat dan tidak terduga. Aku benar- benar senang. Dan akui lah, kau juga menikmati. Tuhan maha mengetahui segalanya. Kita berdua menyadari itu sepenuhnya. Dari situ aku ingin memulai, dan kau setuju. Bukankah dari awalnya kita yakin Tuhan yang mencipta. Semua pengetahuan yang dimiliki dan dipelajari, bagaimanapun penjelasannya, berawal dari satu zat tunggal, semuanya meyakini itu. Benar Tuhan maha mengetahui segala hal. Dan tidakkah Tuhan memandang kita sama ? Ciptaan-Nya, hasil kreasi ketuhanan. Kejadian setelah penciptaan lah yang sesungguhnya lebih menarik bagi kita, karena di sana lah peristiwa awal kita mulai saling meyakini bahwa kita tidak cocok satu sama lain. Manusia merasa aku terlalu tinggi hati, hingga lancang menolak perintah Tuhan untuk sujud kepada Adam - yang kemudian kalimatnya berubah menjadi sombong, angkuh, dan durhaka kepada Tuhan, itulah yang diajarkan manusia pada anak cucunya - padahal aku merasa kami setara, sama-sama ciptaan Tuhan, seperti juga malaikat yang diciptakan sebelum kami. Aku tidak pernah mau sesungguhnya, sujud kepada malaikat, begitu juga malaikat kepadaku. Kami hanya sujud kepada Tuhan. Kami menjalankan perintah Tuhan dengan sungguh-sungguh. Tuhan maha mengetahui segalanya. Tuhan pastinya juga tahu aku akan menolak ketika disuruh sujud kepada selain Ia. Maka menurut manusia aku durhaka, aku terkutuk karena berani menolak perintah Tuhan, dan manusialah yang paling patuh mengabdi kepada-Nya.
Kau diam, pikiranmu mencerna kalimatku, seperti lambung mencerna makanan. Kau endapkan, dan semuanya secara otomatis bereaksi. Mari kuceritakan sedikit kondisi yang mungkin bisa kau pahami ketika itu. Sebenarnya secara logika, Adam adalah satu-satunya makhluk yang belum memiliki tujuan keberadaan yang jelas di sana, pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. Tidak seperti aku dan malaikat yang yakin harus berbuat apa. Kesendirian Adam dalam ketidak tahuannya membuatnya merasa terkucil. Secara logika, Adam menganggur, membuatnya memiliki banyak waktu luang, akibatnya ia memikirkan dan menginginkan hal- hal lain. Adam meminta Hawa - dan Tuhan maha mengabulkan permintaan - untuk menemani kesendiriannya, dari pada memilih berbaur bersama kami menjalankan fungsi masing-masing, tidakkah menurutmu itu sedikit berlebihan? Meminta sesuatu sebelum mengabdi. Adam tidak fokus dan selalu ingin tahu. Hal itu sungguh-sungguh menarik perhatianku. Selanjutnya manusia memiliki versi mereka sendiri-sendiri tentang cerita tersebut yang berkembang sampai saat ini. Yang jelas keingintahuan mereka sendiri yang membuang mereka dari sana. Sedangkan Tuhan maha mengetahui segala hal.
Matamu masih memandang semua orang di taman ini, semua masih terlihat gembira dalam indahnya suasana sore, tetapi pikiranmu sudah bertualang jauh menjelajah waktu bersamaku. Sungguh seru. Kau berpikir sekarang manusia sudah dapat menerima itu semua sebagai takdir yang harus mereka jalani.
”Harus kita akui, kalau kita jadi sedikit emosi jika menyangkut hal ini” ujarku, yang tidak ditanggapi olehmu, seperti sebelumnya, kau diam dalam ragu. Aku menyalahkan kebimbangan Adam, sedangkan manusia menyalahkan aku, menurut mereka aku memanfaatkan kelemahan Adam. Walaupun akhirnya kami harus menerima konsekuensi berada disini, di dunia ini, sampai kini. Masing- masing pihak beranggapan ini hukuman karena kesalahan pihak lain. Masing-masing merasa benar. Semuanya menggugat. Demi Tuhan pemilik semua kebenaran. Orang- orang tetap ramai di taman yang indah itu. Semua gembira. Benar- benar sore yang terlihat sempurna.
”Kami menganggap Tuhan tidak adil” ujarku kemudian.
Kau terusik ketika mendengar pernyataan ”kami” bahwa Adam juga sependapat denganku. Kau diajarkan untuk menghormati leluhurmu. Kau tidak suka pandangan mereka berbuat salah. Sore menjelang akhir, ketika kita masih mengikuti kereta pemikiran yang melaju sangat kencang, sehingga pada titik ini tidak mungkin bisa mengurangi lajunya. Mustahil menghentikannya sekarang. Kembali aku bertanya, “Kau pikir hidup di dunia ini, tidak akan pernah mati, sampai akhir saat kiamat adalah anugerah bagiku?” sementara banyak manusia ingin berumur panjang. Hidup di dunia selamanya?
Kau diam membisu, logikamu bekerja cepat seperti mekanisme otomatis, tapi kali ini sangat cepat, aku tahu kau terhanyut. Tiba-tiba saja pikiranmu muncul.
”Tidak, abadi selamanya bagimu adalah suatu kutukan, melihat semua kehidupan berlalu dihadapanmu tanpa tahu kenapa. Tanpa tahu apa artinya”
”Apa kau juga berpikir aku marah dan berusaha melakukan kudeta terhadap rencana Tuhan ? bahkan mungkin ingin menjadi Tuhan?” tanyaku.
Kembali segalanya berkecamuk dalam pikiranmu, diantara berjuta kebimbangan itu jawabanmu muncul dengan tenang.
”Tidak, kau dan aku tahu tidak ada kekuatan di alam raya ini yang bisa mengalahkan Tuhan, kaulah yang benar- benar menyadari itu, kau hanya memanfaatkan kesalahan manusia, membuat manusia berpikir mereka bisa melakukan hal-hal yang dilakukan Tuhan. Membuat mereka merasa bisa menjadi Tuhan atas perbuatan mereka. Kau menyadari sepenuhnya hanya manusia yang berpikir mereka bisa menjadi Tuhan. Dan kau hanya mengalirkan keinginan itu, seperti yang dulu kau lakukan pada firaun dan banyak manusia sebelum dan sesudahnya”
Aku mengajukan satu pertanyaan keberatan lagi, menutupi gusarku akan jawabanmu.
”Apa kau juga berpikir, dalam upayaku menyesatkan manusia, atau apapun itu segala kejahatan yang dituduhkan manusia kepadaku, aku akan mengambil bentuk- bentuk menyeramkan – dengan taring, tanduk, dan semua bentuk tubuh aneh yang menakutkan itu - seperti yang selalu digambarkan dalam cerita-cerita anak manusia sepanjang sejarah zaman?”
Dalam amuk badai pikiranmu, kau menjawab dengan tenang dan tentram, merasa damai seakan- akan telah menyadari suatu hal penting.
”Tidak! Kau selalu muncul dalam bentuk terbaik yang bisa dibayangkan, kau muncul dalam solusi yang terasa paling tepat, jalan keluar tercepat yang bisa ditawarkan dari sebuah situasi. Obat paling manis yang ternyata racun dalam kenyataan. Kau membawa semu, diinginkan hasrat yang tidak mau berubah menjadi lebih baik.”
Akhirnya kau tersenyum lega, berdiri mengakhiri perbincangan kita tanpa kata, menghentikan laju kereta pemikiranmu secara mendadak. Aku terhempas. Pikiranmu tenang lagi dan entah kenapa, kurasa hatimu telah tetap. Kau melihat kembali pada orang-orang yang terlihat gembira di taman itu, senja sudah menjelang matahari yang tenggelam. Mereka tidak bisa berhenti gembira. Kau memandang untuk terakhir kalinya sebelum berlalu, mereka terlihat lelah. Kakimu sudah melangkah tenang meninggalkanku, ketika kuteriakkan tanya.
”Mengapa manusia masih tidak yakin pada Tuhan yang sebenarnya?”
”Mengapa mereka saling bunuh demi Tuhan yang bebeda?”
Angin membawa pergi pertanyaan
Aku kesepian. Aku kembali sendiri.
Nanti, datanglah lagi.
Ingin kuceritakan tentang surga dan neraka.
Tentang bisnis properti paling sempurna.
Datanglah lagi, nanti.
Kita akan bercerita lebih jauh tentang jiwa alam raya.
Demi Tuhan yang maha mengetahui segalanya.
Aku menyukaimu.
Aku akan selalu mendampingimu.
Biarkan aku jadi sahabatmu...
Ditulis oleh Tito Alexi
Published and edited by Benimonzieur
SOCIALIZE IT →