
BERAS...
Siang begitu terik. Rasanya matahari berjarak semakin dekat ingin menjamah Bumi dan panasnya terasa semakin menghujamkan keletihan pada setiap insan yang mungkin terpapar sinarnya siang itu. Walau pun hawa panas menguar dibayangi debu-debu jalanan bertebangan teriup angin kering semilir, seorang wanita tua tampak berjongkok memungut sesuatu. Ia berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukannya tanpa menghiraukan hiruk pikuk orang-orang yang sedang bekerja dan bising mesin kendaraan yang berlalu lalang sisekitarnya. Ia hanya memikirkan apa yang harus silakukannya, mengumpulkan butir-butir kehidupan yang berceceran di jalanan tanah berdebu. Memungut bulir-bulir putih berkilauan diantara butiran tanah dan pasir dan memasukkannya kekantong yang telah disiapkan dalam dekapannya. Keringat bercucuran di keningnya, bergulir di wajahnya dan membasahi pakaiannya yang lusuh termakan usia. Wajahnya yang memang tak muda lagi tampak sedikit tersenyum mendapati nasibnya yang sedikit beruntung hari ini. Alhamdulillah, ada banyak rejeki untuknya hari ini, pikirnya. Tidak seperti kemaren dan kemarennya lagi, ketika hujan membuyarkan semua rencananya yang sudah matang dipersiapkan sedari pagi. Dan membuat orang-orang tak melakukan aktivitas rutin seperti biasanya yang membuatnya urung mengais rejeki. Tapi hari ini lumayan, sedikit untuk makan selebihnya untuk simpanan. Siapa tau besok turun hujan lagi. Dan dia pun berlalu dari kegiatannya yang intens bersimpuh di tanah, bangkit mengangkat kantong yang tadinya kosong tapi sekarang sedikit berbobot. Mungkin ini hasil terbaik selama sebulan ini. Dan sekarang ia harus melakukan kegiatan selanjutnya, yaitu memisahkan butir-butir putih cemerlang itu dari campuran tanah dan kerikil. Ya, beras ini harus ditampi, sebelum dijual atau dimasak untuk makan hari ini...
***
JALAN...Seorang bapak-bapak renta tampak meringkuk pada tumpukan yang berhasil ia raup dengan peralatan sederhana dari sekitar tempat itu. Ia menyiduk dan menuangnya ke dalam wadah yang selalu ia tenteng, keranjang rotan. Semakin banyak dedaunan menupuk dalam keranjang lusuh yang ia bopong dari tadi pagi. Rasanya bobot keranjang itu semakin menekan bahunya yang sudah tidak bidang lagi. Tapi ia harus menyelesaikan tugas ini hingga ke ujung jalan sana sampai sore menjelang. Ah, cuma sedikit lagi, dan hari akan sore, pikirnya menyemangati diri sendiri. Tapi panasnya matahari yang berkolaborasi denga hembusan angin nakal kembali merontokkan dedaunan malang dari tampuknya. Tidak hanya yang sudah kemuning, bahkan diantara serakan dedaunan yang gugur terdapat pucuk hijau yang rasanya baru menyapa dunia. Tapi ia tak sempat mengumbar nestapa untuk nasib pucuk daun yang malang. Kembali ia mangayunkan lengannya yang ringkih mengayuh sapu yang sudah menjadi teman akrab dalam kesehariannya. berusaha menghalau segala sesuatu yang mengotori keasrian jalanan protokol itu. sesekali ia mengeluarkan handuk kecil lusuh dari kantong celananya yang rombeng, dan menyeka keringat yang mengalir menganak sungai membasahi wajah dan lehernya. Ia menuang beberapa teguk air kedalam kerengkongonnya yang kering. dan kembali melanjutkan menyapu jalannan yang rasanya masih panjang. Jalan yang tak pernah ia lalui dengan kendaraan apapun, seperti para para pejabat yang meringkuk nyaman di mobil ber-AC-nya, atau pun seperti orang-orang yang penuh ceria mengendarai motor mereka sembari menikmati nyamannya angin mengelus wajah-wjah mereka yang terpoles bahagia. Bahkan ia pun masih bertanya-tanya, kemana jalan ini sebenarnya menuju. Jalan yang setiap hari ia bersihkan, yang memakan usianya lebih banyak dari pada waktu tidur atau istirahatnya. Jalan yang menjanjikan sedikit rejeki agar dia bisa bertahan hidup. Sungguh dia tak pernah tau ada apa di ujung jalan yang setiap hari ia langkahi dengan keikhlasan orang yang berbakti. Tapi ia tak pernah sampai di ujung sana, karena sertiap kali ia hampir mencapai batas cakrawala yang menguar jingga ia harus kembali ke tempat ia semula. Seperti hari ini, ia melakukannya seperti hari-hari sebelumnya, berhenti di batas yang harus dia taati sambil mengusap keringat dari dahi.Dan ia pun melemparkan pandangan kosong penuh rindu ke ujung jalan itu. Jalan itu tetap tampak tak berujung, yang perlahan dikaburkan oleh meredupnya cahaya siang menjadi sore yang temaram...
***
ANAK KU SAYANG...Suara tangisan itu terasa memekakkan, tidak hanya telinga tapi juga hati. Telinganya rasanya sudah terlalu biasa dengan rengekan memilikan itu, tapi hatinya, menangis pasrah merasakan getaran derita dalam suara lantang tangisan di kecil yang malang. Ia masih sibuk merebus dedaunan dari kebun di atas tungku yang mengepulkan asap kehitaman. Tangannya yang mulai keriput prematur mengais-ngais pasir yang mungkin tercampur pada beras usang berwarna keabu-abuan. Ia harus segera menyalesaikan pekerjaannya kalau tidak mau anaknya kehabisan tenaga karena tangisan. Jadi ia semakin cekatan menampi, mencuci dan memasaknya dengan peralatan seadanya. Semabari menunggu airnya mendidih, ia merenung memikirkan hidupnya. "Apakah ini takdir atau hanya aku yang kurang beruntung", pikirnya dengan menghiba. "Aku bisa daja menahan kegetiran ini labih lama dan tetap bertahan, tapi anakku? Ia begitu kecil, rentan, dan tak tau apa-apa tentang kegetiran hidup". Ia tersadar dari lamunannya ketika letupan-letupan kecil upa mengepul dari periuk hitam berjelaga yang sedang terdiang di atas tungku. Sepertinya Nasinya hampir matang, dan ia kembali menatap anaknya yang tergeletak dil lantai tanah mulai kelelahan menangis. Yang tersisa darinya hanya rengekan pelan dan sesekali cegukan tertahan yang menyedihkan. "Sabar anakku, sebentar lagi...", pikirnya dengan penuh rasa bersalah. Rasanya dia lah yang telah menarik jiwa kecil itu dari kenyamanan surga untuk lahir ke dunia yang penuh nestapa ini. Ini tidak adil bagi bocah sekecil itu. Tanpa berlama-lama menunggu, dia langsung menyendok nasi aking yang sudah mulai mengering tapi masih sangat panas kedala piring plastik usang. Meraup sayur dari tadahannya kedalam piring itu dan mulai meniupnya dengan penuh cinta untuk si suapi ke pada si anak yang dari tadi menunggu dengan tidak sabar.
"Ini anakku, ibu hanya bisa menyiapkan ini. Mudah-mudahan besok kita dapat ikan untuk lauk, ya... Ayo makan".
Dan senyum lugu yang sumbringah dari bibir mungil si anak membuyarkan keprihatinan jiwanya. Rasanya ia adalah orang paling bahagia mendapati anaknya tersenyum gembira. Anak itu mengunyah makanan itu dengan lahap sementara sisa-sisa air mata masih membercak di pipinya. "Aku ingin senyum itu tetap ada", pikirnya sambil tersenyum menyuapi anaknya tercinta...
***
UANG 'MUKA'...
Ia menangis mendengar penolakan itu. Bagaimana mungkin ia mampu mendapatkan uang sejumlah itu dalam waktu singkat. Melihatnya saja belum pernah apalagi memilikinya. Rp. 5 juta bukan jumlah yang sedikit baginya. Itu adlah jumlah fantastis yang bahkan membayangkannya saja menbuatnya merinding. Dan jumlah itu lah yng diminta oleh suster yang tadi mendatanginya untuk menagih uang muka pengobatan suaminya yang bahkan belum tersentuh usaha medis apa pun dari pihak rumah sakit. "Saya mohon, Mbak. Saya berjanji akan membayarnya nanti meski dengan nyawa saya, tapi tolong selamatkan dulu suami saya." tandasnya, memohon kemurahan hati suster tersebut.
"Tapi memang harus begitu, Bu. Sudah peraturannya begitu. Saya juga tidak bisa melakukan apa-apa, saya hanya pekerja biasa disini..." jawab suster tersebut balik memelas.
"Apa tidak ada kelonggaran bagi orang miskin seperti saya? Tolonglah Mbak."
"Aduh Ibu, jangan persulit posisi saya dong... Atau Bapak tidak bisa diobati kalau Ibu tak segera membayar uang muka pengobatannya. Gimana...?"
Wanita itu kembali meringis sedih. Ia membayangkan penderitaan suaminya yang sudah seminggu ini menderita penyakit yang bahkan dukun desa pun tak sanggup mengobati nya. Ia pun sudah berusaha dengan obat-obatan tradisional, tapi hasilnya nihil. Suaminya malah makin parah. Kalau tidak terpaksa, mungkin ia tak akan membawa suaminya kesini dengan di antar becak tetangga sejauh hampir 5 kilo meter. Tapi sekarang... Ya Tuhan, tolonglah hamba.
Tiba-tiba seorang Pria dengan perawakan berwibawa datang menghampiri mereka berdua.
"Suster, itu kenapa pasien di kamar sebelah dibiarkan saja, kok tidak segera ditangani? Sepertinya penyakitnya sudah parah itu." ujarpria itu dengan wajah serius kepada suster itu.
"Maaf Dok. Itu Suaminya Ibu ini, dia belum melunasi uang muka untuk perawatan suaminya. Saya tagih Ibu ini malah menangis. Bagai mana ini Dok?", jawab si suster dengan wajah tak kalah serius dan tampak sedikit agak ketakutan.
"Nanti saja usrus itu, sekarang ayo bawa pasien itu ke ruang operasi."
"Iya Dok..."
Dan suster tersebut bergegas meninggalkan ruangan itu menuju kamar sebelah.
"Dan Ibu silahkan menunggu di ruang tunggu ya?" kata Dokter itu yang sekaligus membuat lega hati si Ibu. Dokter itu meninggalkan ruangan itu meninggalkannya sendirian masih termangu dengan apa yang baru saja terjadi. Mudah-mudahan suaminya bisa tertolong. Mudah-mudahan ia biasa kembali sehat dan bisa kembali bekerja menafkahi keluarga. Kami tidak akan bisa bertahan tanpa ia. Wanita itu terus membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang membuatnya semakin resah sambil melangkah ke ruang tunggu. Sesampai di sana, ia terus mondar-mandir dengan gelisah menunggu kabar tentang keadaan suaminya, semabari sesekali melongok ke ujung lorong sana berharap ada yang datang mengabarinya. Selang beberapa waktu harapannya tampak sia-sia. Tapi kemudian, dokter yang tadi dengan ramah membantunya keluar dari keributan administrasi terlihat bergerak mendekat kearahnya. Kontan saja ia langsung menghampiri. Dengan nafas terengah-engah ia mulai menanyakan berbagai pertanyaan mengenai keadaan suaminya. Dan sang dokter berusaha tersenyum mendapati wanita itu begitu mencemaskan suaminya.
"Maaf Ibu, harap Ibu tenang dulu..." Ia memulai pembicaraan yang kemudian dipatuhi oleh wanita itu, walau masih dengan tangan saling menggenggam dalam gemetar. Sedangkan dokter tersebut tampak sedikit ragu-ragu melanjutkan penjelasannya. Ia pun tampak gelisah, atau entah itu karena iaberhadapan denga seorang istri yang sangat mencemaska keadaan suaminya.
"Ibu, sebelumnya saya mohon maaf karena kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi sepertinya Tuhan berkehendak lain... Suami Ibu tidak tertolong..."
Tangisan pilu langsung menggema di lorong rumah sakit itu. Si wanita histeris dan meronta mendapati abar yang paling ditakutkannya. Bagaimana mungkin Suaminya meninggalkannya. Siapa yang akan melindunginya dari keras kehidupan dunia. Sipa yang akan membantunya menghidupi keluarganya yang sangat sederhana. Kepada siapa ia harus mengadukan semua ketakutannya akan masa depan. Ya Tuhan... Ini terlalu berat untuknya. Dan ia pun jatuh lunglai, yang segera ditangkap oleh dokter itu sebelum ia ambruk menyetuh lantai padat. Wanita itu tak sadarkan diri...
***
MISPLACED...
Pagi itu ia datang lebih awal. Ini hari pertamanya masuk kerja, dan ia bersemangat sekali mendapat pekerjaan yang begitu baik setelah setahun berusaha mencari pekerjaan yang layak di kota besar. Semalan ia agak susah tidur menunggu pagi datang. Bangun pagi-pagi sekali, sholat subuh dan mulai menyiapkan diri untuk berangkat kerja. Dan di sinilah ia sekarang. Memulai pekerjaan dengan doa dan semangat. Astaga! Hotel ini begitu mewah, sungguh tidak disangka ia akan bisa bekerja di sini. Ternyata usaha dan do'anya tidak sia-sia. Allah memang Maha Besar karena telah mengabulkan doanya untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan bisa membantu Ibu dan adik-adiknya yang masih sekolah di kampung. Sekarang ia begitu bahagia, menjalankan tugas-tugasnya sebagai cleaning sevice di hotel megah ini, hotel bintang lima. Dari tadi pagi ia tak berhenti tersenyum dan menerima perintah tegas dari manegernya untuk melakukan ini-itu dengan senang hati. Beralih dari satu kamar ke kamar lainnya dan dari satu ruangan ke ruangan lainnya, membersihkan segala sesuatu sehingga tampak asri dan nyaman bagi para pengunjung. "Ah, sekarang mereka akan betah tinggal di sini jika ada aku", pikirnya menyobongkan diri dan tersenyum-senyum sendiri. Ia kembali menyibukkan dri merapikan segala sesuatu dan memberihkan apa pun yang dianggap perlu. Dan sekarang ia harus ke bagian binatu untuk mengangkut kai-kain ini agar segera di cuci. Dengan riang ia mendorong troli binatu menyusuri lorong yang mengarah ke bagian pantri. Suasana terasa sepi. Hanya tampak orang-orang yang tak dikenalnya berlalu-lalang sesekali. Dan ia melemparkan senyum ramah ke orang-orang itu. "Bukan kah senyum itu sedekah", pikirnya membenarkan bagaimana ia harus bersikap ramah pada semua orang. Tak peduli itu orang-orang asing yang erbeda bangsa, bahasa, ras dan agama, yang datang dari benua yang membayangkannya saja mungkin sudah terlalu jauh baginya. Deg! Perasaannya berasa tak enak. Rasanya keadaan terlalu sunyi untuk suasana hotel semegah ini. Tapi ia menepis rasa galau yang tiba-tiba menghantuinya dan kembali persiul menysuri koridor yang tanpak sepi. Dan tiba-tiba... DUAAAAARRRRRR!!! Ruangan terasa bergoncang hebat seiring dengan bunyi dentuman seperti ledakan bom yang menggelegar dari arah lantai atas. Perabotan di ruangan itu mulai berjatuhan dan pecah berserakan di lantai. Dan atap beton tepat di atasnya ambrol jatuh menimpa kepalanya. Ia tak sempat mengelak atau pun melindungi diri dengan apa pun. Ia berteriak mengucapkan Asma Allah dan jatuh pingsan bersama reruntuhan yang menimbunnya tanpa ampun. Ia berusaha meraih kesadarannya. Rasa sakit dan perih menjalari seluruh tubuhnya. Ia bisa merasakan darah bercucuran dari sisi kepalanya. Ia mencoba memikirkan apa yang telah terjadi tapi kesadarannya terlalu minim, logikanya mengabur dan berbaur dengan rintihan lirih yang keluar dari mulutnya yang berdarah. Dan ia pun tak sadarkan diri, hilang bersama tanda tanya besar yang tak pernah ia pahami. Apa yang telah terjadi...???
Ku lihat ibu pertiwi sedang bersusah hati. Aair matamu berlinang, mas intanmu terkenang. Hutan gunung sawah lautan simpanan kekayaan. Kini ibu sedang susah, merintih dan berdoa...
Tribute to 65th Indonesian Independence Day
SOCIALIZE IT →