Ia meingis mendengar ide itu. Panti? Tidak, aku aka akan pernah meninggalkan tempat ini. Di sinilah aku dulu mengahabiskan hidup bersama suami ku tercinta. Seketika ia terkenang akan suami yang dulu pernah membuat hidupnya sempurna, membuatnya bahagia. Lelaki yang sudah lama meninggal bersama para pejuang lainnya demi membela negara. Suami ku yang begitu baik dan telah mencintai ku selama aku hidup, seperti janjinya. Dia laki-laki pemberani, sama seperti para prajurit mana pun yang dengan gagah membela bangsa, berjuang dengan kesederhanaan melawan tirani penjajah. Setidaknya itu lah yang pernah dikatakan komandan suaminya dulu ketika ia pernah sekali bertemu, seorang jendral kharismatik yang mengajarkan arti sebuah perjuangan kepada suaminya dan kepada banyak prajurit sukarelawan lainnya. Tapi suaminya hanya orang biasa, tidak memanggul senjata berat yang mampu memuntahkan peluru tanpa berbelaskasihan. Ia dulu hanya mengandalkan parang yang sering ia gunakan untuk berkebun, dan sesekali membawa bambu runcing melawan Belanda. Dan pernah sekali ia pulang dengan wajah cemas, gemetaran dan tangan berlumuran darah. Ia begitu panik waktu itu, karena untuk pertama kalinya ia berhasil membunuh seorang prajurit penjajah. Tapi itu tidak berlangsung lama, mengingat tujuannya untuk memperjuangkan kemerdekaan dari penindasan dan kesewenang-wenangan kolonialisme. Siluet gelap orang-orang berseragam di dinding kain membuatnya kembali tersadar dari renungan manisnya. Wanita itu merapatkan tubuh ke sudut ruangan sempit itu. Ingin sekali rasanya ia bisa menghilang di bagian gelap bayang-bayang atap kardus yang melindunginya dari sengatan matahari dan hujan. Ia ingin lari dari tatapan orang-orang yang berusaha merebut kemerdekaannya. Membawanya entah kemana yang menurut mereka tempat yang lebih baik. Tidak ada yang lebih baik semenjak suaminya meninggalkannya sebatang kara.
"Tidak!", ia menggelepar marah ketika orang-orang berseragam itu berusaha menggapainya dan menariknya dari gubuk reot kesayangannya.
"Jangan tangkap saya. Saya tidak melakukan kejahatan apa pun... Tolong jangan penjarakan saya..." teriaknya dengan histeris, membuat orang-orang yang berusaha membujuknya untuk keluar tertegun.
"Ibu... Kami dari Dinas Sosial Kota. Kami hendak membantu Ibu. Kami sudah menyediakan tempat tinggal yang lebih baik untuk Ibu. Ayo, mari ikut kami." Bujuk salah satu dari mereka berusaha terdengar lembut dan menghibur.
"Tidak! Saya tidak akan kemana-mana. Saya senang tinggal di sini. Suami saya meninggal di sini, dipangkuan saya. Dan saya akan mati di sini juga. Tinggalkan saya, jangan ganggu...". Ia mulai menangis. Air mata berlinang dan mengalir luruh di pipinya yang keriput. Ia berusaha menghapus air mata dengan pakaiannya yang compang-camping.
"Tolong, jangan ganggu hidup saya lagi. Saya sudah sangat dekat dengan Gusti Allah. Sebentar lagi dia akan menjemput saya dan mempertemukan saya dengan suami saya. Biarkan saya di sini..." ujarnya getir sambil berusaha menahan air mata yang semakin deras.
Orang-orang berseragam itu mulai bingung. Mereka ditugaskan untuk membersihkan area ini dari para pemulung dan pengemis. Membersihkan gubuk-gubuk liar dari pemandangan kota yang semakin ramai oleh gedung-gedung kokoh berarsitektur modern. Tapi Ibu ini bersikeras tidak mau dipindahkan. Rencananya ia akan ditempatkan di panti jompo. Tempat yang jauh lebih layak dari pada gubuk reyot ini.
"Ayolah Ibu, tidak apa-apa. Kami tidak ingin menangkap Ibu tapi ingin membantu Ibu. Ibu tak usah takut atau ragu...", bujuk salah seorang yang tampaknya pemimpin dari orang-orang berseragam itu. Ia berusaha berbicara dengan lembah lembut sambil setengah menutup hidung mangatasi bau lembab yang menyengat ketika ia melongokkan wajah ke dalam ruangan gubuk di mana wanita itu bertahan. Tapi wanita itu tetap tak bergeming, meringkuk di sudut terdalam ruangan sempit dan lembab itu.
"Tidak... Saya mau di sini. Tinggalkan saya. Jangan ganggu saya..."
"Bagaimana ini, Pak? Ibu ini tetap tidak mau diajak pindah." Salah sorang dari pria berseragam itu tampak mulai emosi dan putus asa. Ia dan temannya yang lain berusaha menahan kesabaran dan juga ketidaknyamanan berada di tempat kumuh yang membuat mual.
"Ya sudah. Paksa aja... Toh ini demi kebaikan dia. Ayo!"
Orang-orang berseragam itu mulai bergerak mendekat, berusaha meraih wanita tua itu dari suarang sempit yang tampak seperti akan rubuh dipenuhi orang-orang. Salah seorang dari mereka berhasil memegang wanita itu. Menariknya ke dalam dekapannya dan mulai membopongnya keluar sambil menjauhkan wajah dengan ekspresi jijik. Wanita itu meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Tapi apalah daya wanita tua yang sudah lemah, tinjunya hanya dianggap angin lalu oleh pria itu, yang terus menggendongnya dengan paksa dan membawanya ke atas mobil dinas mereka yang sudah menunggu di dekat area tersebut. Wanita tua itu terus menangis dan meronta berusaha melepaskan diri. Suara tuanya yang ringkih dan menyayat menarik perhatian orang-orang yang lalu-lalang yang menoleh dengan tatapan kosong tanpa makna. Salah seorang dari pria berseragam itu mulai menghidupkan mesin mobil dan yang lainnya serempak naik ke bagian belakang. Teriakan dan isak histeris wanita itu pun teredam deru mesin dan sayup-sayup hilang seiring dengan melajunya mobil meninggalkan gubug kecil di mana kenangan telah membuat wanita itu bertahan dalam kesengsaraan dengan penuh rela. Sungguh hidup yang tidak adil, walau pun adil itu relatif...
Kisah ini, jika manusia meraba, ia segersang retakan-retakan tanah Gobi atau setandus tiupan debu Sahara. Ia sepahit kisah busung lapar, atau lebih miris seperti wanita tua yang membopong cucunya dengan kain usang menyusuri bantaran kali mengais kesia-siaan demi sesuap nasi.
Hidup memang terkadang menjadi pelik karena kegelapan. Dan sesekali ia bergejolak bagai seratus derajat atau melambai lembut layaknya nyiur. Namun kemerdekaan itu menjadi kamuflase ketika asa dibatasi dan peluang dimatikan tangan tangan kasar ketidakpedulian. Satu hal yang pasti, ia membakar, perlahan dan beraroma asap, meninggalkan jejak merah yang sulit ditenggelamkan. Kebas dan berbekas... Karena kemerdekaan ini bukan bebas.
"Tidak!", ia menggelepar marah ketika orang-orang berseragam itu berusaha menggapainya dan menariknya dari gubuk reot kesayangannya.
"Jangan tangkap saya. Saya tidak melakukan kejahatan apa pun... Tolong jangan penjarakan saya..." teriaknya dengan histeris, membuat orang-orang yang berusaha membujuknya untuk keluar tertegun.
"Ibu... Kami dari Dinas Sosial Kota. Kami hendak membantu Ibu. Kami sudah menyediakan tempat tinggal yang lebih baik untuk Ibu. Ayo, mari ikut kami." Bujuk salah satu dari mereka berusaha terdengar lembut dan menghibur.
"Tidak! Saya tidak akan kemana-mana. Saya senang tinggal di sini. Suami saya meninggal di sini, dipangkuan saya. Dan saya akan mati di sini juga. Tinggalkan saya, jangan ganggu...". Ia mulai menangis. Air mata berlinang dan mengalir luruh di pipinya yang keriput. Ia berusaha menghapus air mata dengan pakaiannya yang compang-camping.
"Tolong, jangan ganggu hidup saya lagi. Saya sudah sangat dekat dengan Gusti Allah. Sebentar lagi dia akan menjemput saya dan mempertemukan saya dengan suami saya. Biarkan saya di sini..." ujarnya getir sambil berusaha menahan air mata yang semakin deras.
Orang-orang berseragam itu mulai bingung. Mereka ditugaskan untuk membersihkan area ini dari para pemulung dan pengemis. Membersihkan gubuk-gubuk liar dari pemandangan kota yang semakin ramai oleh gedung-gedung kokoh berarsitektur modern. Tapi Ibu ini bersikeras tidak mau dipindahkan. Rencananya ia akan ditempatkan di panti jompo. Tempat yang jauh lebih layak dari pada gubuk reyot ini.
"Ayolah Ibu, tidak apa-apa. Kami tidak ingin menangkap Ibu tapi ingin membantu Ibu. Ibu tak usah takut atau ragu...", bujuk salah seorang yang tampaknya pemimpin dari orang-orang berseragam itu. Ia berusaha berbicara dengan lembah lembut sambil setengah menutup hidung mangatasi bau lembab yang menyengat ketika ia melongokkan wajah ke dalam ruangan gubuk di mana wanita itu bertahan. Tapi wanita itu tetap tak bergeming, meringkuk di sudut terdalam ruangan sempit dan lembab itu.
"Tidak... Saya mau di sini. Tinggalkan saya. Jangan ganggu saya..."
"Bagaimana ini, Pak? Ibu ini tetap tidak mau diajak pindah." Salah sorang dari pria berseragam itu tampak mulai emosi dan putus asa. Ia dan temannya yang lain berusaha menahan kesabaran dan juga ketidaknyamanan berada di tempat kumuh yang membuat mual.
"Ya sudah. Paksa aja... Toh ini demi kebaikan dia. Ayo!"
Orang-orang berseragam itu mulai bergerak mendekat, berusaha meraih wanita tua itu dari suarang sempit yang tampak seperti akan rubuh dipenuhi orang-orang. Salah seorang dari mereka berhasil memegang wanita itu. Menariknya ke dalam dekapannya dan mulai membopongnya keluar sambil menjauhkan wajah dengan ekspresi jijik. Wanita itu meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Tapi apalah daya wanita tua yang sudah lemah, tinjunya hanya dianggap angin lalu oleh pria itu, yang terus menggendongnya dengan paksa dan membawanya ke atas mobil dinas mereka yang sudah menunggu di dekat area tersebut. Wanita tua itu terus menangis dan meronta berusaha melepaskan diri. Suara tuanya yang ringkih dan menyayat menarik perhatian orang-orang yang lalu-lalang yang menoleh dengan tatapan kosong tanpa makna. Salah seorang dari pria berseragam itu mulai menghidupkan mesin mobil dan yang lainnya serempak naik ke bagian belakang. Teriakan dan isak histeris wanita itu pun teredam deru mesin dan sayup-sayup hilang seiring dengan melajunya mobil meninggalkan gubug kecil di mana kenangan telah membuat wanita itu bertahan dalam kesengsaraan dengan penuh rela. Sungguh hidup yang tidak adil, walau pun adil itu relatif...
*****
Kisah ini, jika manusia meraba, ia segersang retakan-retakan tanah Gobi atau setandus tiupan debu Sahara. Ia sepahit kisah busung lapar, atau lebih miris seperti wanita tua yang membopong cucunya dengan kain usang menyusuri bantaran kali mengais kesia-siaan demi sesuap nasi.
Hidup memang terkadang menjadi pelik karena kegelapan. Dan sesekali ia bergejolak bagai seratus derajat atau melambai lembut layaknya nyiur. Namun kemerdekaan itu menjadi kamuflase ketika asa dibatasi dan peluang dimatikan tangan tangan kasar ketidakpedulian. Satu hal yang pasti, ia membakar, perlahan dan beraroma asap, meninggalkan jejak merah yang sulit ditenggelamkan. Kebas dan berbekas... Karena kemerdekaan ini bukan bebas.
SOCIALIZE IT →