Ada yang mengejutkan ketika ku buka lembaran koran itu hari ini, Film-film asing ditarik dari peredaran di tanah air, tidak hanya film-film lama tetapi juga yang sedang tayang di bioskop-bioskop. APA?! Ini berita buruk bagiku. Kenapa? Karena aku sangat mencintai dunia film. Aku adalah salah satu dari jutaan manusia di dunia yang tumbuh dan berkembang dengan menikmati berbagai genre film, terutama film-film Hollywood dengan segala pesonanya. Film adalah tempatku mencurahkan emosi, sebagai perlipur lara, tempat menikmati kesendirian, sarana menuai romantisme, dan pemuas dahaga pengetahuan serta nilai yang terkandung di setiap unsur yang ditampilkan sebuah film. Dan mengapa film-film Hollywood? Karena aku lahir dan tumbuh di masa dengan latar belakang perfilman lokal yang mandul. Pada era 1990-an, perfilman Indonesia mengalami kelesuan drastis. Yang muncul ke permukaan hanya film-film berbau seks murahan dan minus pesan moral yang tak dapat dibanggakan. Dan ketika itu lah film-film asing menjadi alternatif yang cukup mumpuni memenuhi dahaga hiburan, pengetahuan dan estetika sinematografi (ketika SD aku bahkan sudah menonton flim-film asing di TV sampai pukul 12 malam).
Tapi ketika perfilman Indonesia mulain bangkit, Hollywood tetap menjadi pilihan yang tak bisa dile
paskan dari minatku yang masif terhadap film. Bermacam genre film Indonesia mulai menggoyang pasar tapi tak cukup mampu menggoyang minatku. Pernah aku mencoba untuk menikmatinya seseskali, tapi kemusian aku jadi sedikit menyesal menghabiskan waktu dan uang menonton film yang kualitasnya masih belum membanggakan, dan pilihannya masih monoton. Pada awal bangkitnya, film lokal didominasi oleh film dengan cerita cinta remaja, kemudian berkembang sedikit variatif. Namun entah mengapa, sekarang justru dipenuhi oleh film-film berbau seronok dan mistis menjijikkan, walau masih ada beberapa produksi film lokal yang bermutu tentunya. Semoga fenomena film yang nyeleneh tersebut mendapat perhatian dari sineas dan lembaga terkait negeri ini. Namun, sejalan dengan keadaan itu, film Indonesia mampu bersanding bersamaan dengan film Hollywood dan film asing lainnya, walau faktanya film lokal masih kalah dalam hal kualitas dan jumlah produksi.
Hollywood memang pantas menjadi pilihan karena produksi filmnya yang tetap stabil, variatif, serta kualitas pantas di acungi jempol. Hollywood kemudian menjadi idolaku di ranah perfilman. Aku berdecak kagum dengankeajaiban yang dipersembahkan Hollywood dalam masterpiece demi masterpiece. Sebut saja diantaranya ada Titanic (1997), film terlaris sepanjang masa yang berhasil membuatku berkaca-kaca. The matrix (1999), breakthrough CGI yang membuat aku nyaris tak bergerak ketika menikmati kedasyatan film ini, dan ada juga Avatar (2009), yang menjadi film paling indah dengan setting virtual Planet Pandora yang super cantik, berhasil membuatku seakan bermimpi menyaksikannya. Dan entah sudah berapa juta film dari berbagai genre pernah ku tonton, terutama-film-film produksi Hollywood. Dan tak pernah terbayangkan jika-film-film itu tak lagi bisa dinikmati di negeri ini. Just can't live without movies.
Nah sekarang muncul kehebohan yang cukup membuat parno. Film-film Hollywod yang megical itu dilarang putar di bioskop? Tidaaaaaak! Bea Cukai Indonesia telah memberlakukan ketentuan bea masuk atas hak distribusi film impor, sehingga film asing di Indonesia ditarik dari semua bioskop di Tanah Air. Tak ada lagi film asing yang tayang di semua bioskop di Indonesia, termasuk 21 Cineplex mulai Jumat 18 Februari 2011. Perwakilan Motion Picture Association (MPA) sempat datang dan berkoordinasi dengan pihak 21. Namun, asosiasi perusahaan film asing itu tetap pada keputusan menarik semua film yang beredar ataupun belum. MPA mewakili sejumlah perusahan film Asing, sudah resmi menarik semua film. Bukan hanya film baru tapi juga yang sudah beredar berkoordinasi dengan pihak bioskop 21 Cineplex. Menurut juru bicara 21 Cineplex, Noorca Massardi, hal tersebut tidak lazim dan tidak pernah ada dalam praktik bisnis film di seluruh dunia. Sebab, yang disebut bea masuk itu hanya berlaku untuk barang masuk. Dan untuk itu setiap kopi film impor yang masuk, selama ini sudah membayar bea masuk+pph+ppn = 23,75 persen dari nilai barang. Selain itu, Negara/Ditjen Pajak/Kemenkeu selama ini juga sudah menerima pajak penghasilan 15 persen dari hasil eksploitasi setiap film asing yang diedarkan di Indonesia. Pemda/pemkot juga menerima Pajak Tontonan dalam kisaran 10-15 persen untuk setiap judul film impor/nasional. Pihak Motion Pictures Association (MPA) dan Bioskop 21 sudah mengajukan argumen penolakan/keberatan terhadap Bea Masuk untuk Hak Distribusi, namun keberatan itu tidak digubris. Menyikapi hal itu, MPA sebagai asosiasi produser film Amerika memutuskan tidak mendistribusikan film Amerika di seluruh wilayah Indonesia mulai Kamis, 17 Februari 2011. Film-film impor yang sudah masuk dan sudah membayar bea masuk dalam ketentuan lama, juga tidak akan ditayangkan di Indonesia (seperti Black Swan, True Grit, 127 Hours, dll).
Beberapa film mulai ditarik peredarannya, dan yang sudah rencana tayang, jadi batal. Otomatis, iklan-iklan film di media, termasuk koran akan dihentikan. Penerapan peraturan baru tentang impor film asing yang dilakukan Dirjen Pajak juga berpengaruh kepada peredaran film-film asing lainnya. Pihak importir film Indonesia akan berhenti mendatangkan film-film tersebut. Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (IKAPIFI) mengamini langkah Hollywood menghentikan pasokan film ke Indonesia. Dengan sendirinya Ikatan Perusahaan Importir Film Indonesia (Ikapifi) juga berhenti membeli film-film asing, bahkan termasuk film Eropa, Mandarin, Bollywood, dan film-film independen dari seluruh mancanegara. Karena Ikapifi merasa aturan ini akan berlaku buat mereka juga. Sungguh kerumitan yang memprihatinkan. Tak ada lagi Harry Potter, tak ada lagi Transporters, tak ada lagi Angelina Jolie, Helle Berry, Tom Cruise, Brad Pitt, Keanu reeeves, Mila Jovovich, Ashton Krucher, Jacky Chan, Stephen Chow, Zhang Zee Yi, dan bintang-bintang keren lainnya. Too damn bad!
Keputusan Hollywood stop mengirimkan produksi filmnya pasti akan banyak mengundang reaksi. Dari jutaan penikmat film lainnya, saya adalah satui diantaranya. Ya kecewa bangat lah, karena pastinya film-film Hollywood tidak bisa masuk perihal pajak. Padahal keputusan tersebut tak benar-benar menyelesaikan masalah. Bahkan dikhawatirkan, kalaupun film asing ditayangkan di Indonesia, tiketnya bisa-bisa menjadi sangat mahal. Imbasnya, pasti akan sangat terasa. Diantaranya, masyarakat akanlebih suka mengkonsumsi DVD dan VCD bajakan. Banyak bioskopakan gulung tikar karena orang-orang malah beralih ke DVD bajakan. Sekarang saja DVD bajakan sudah digandrungi, apalagi kalau nantinya biaya nonton mahal. Yang pasti, pecinta film di Indonesia tidak akan kesulitan menikmati film-film baru garapan Hollywood dan Eropa. DVD bajakan akan menjadi pilihan pasti jika pemerintah terus menerapkan kebijakan larangan film Hollywood masuk ke Indonesia.
Sisi positif tidak diedarkannya film asing ke Indonesia adalah membuka peluang lebih untuk eksistensi film Indonesia. Namun pertanyaannya, apakah senias Indonesia bisa mengisi kekosongan layar bioskop yang sebelumnya diisi oleh film asing? Dengan tidak adanya film asing di bioskop, alternatif tontonan akan menjadi lebih sedikit. Meski film Indonesia tidak jelek, namun dilihat dari keragamannya masih sangat kurang. Film Indonesia pada umumnya selalu mengarahnya ke cinta, pada hal kita juga perlu hiburan jenis lain selain film cinta, misalnya film action yang sampai saat ini belum pernah diproduksioleh sineas kita. Kalau pun ada, kualitasnya masih tidak memuaskan seperti menonton film-film action Holliwood atau Mandarin. Bisa diakui bahwa sineas Indonesia saat ini memang sudah semakin kreatif. Namun untuk membuat film action yang bagus, masih belum mampu. Selain itu, tekhnologi, teknik pembuatan dan kualitas film Hollywood dan Eropa jauh lebih bagus dibanding Indonesia. Film Indonesia sekarang ini masih lebih banyak mengedepankan sisi komersialnya saja. Film-film yang beredar masih mengutamakan tema cinta, komedi berbau pornografi, mengeksploitasi perempuan dan mistis. Jika para sineas mau lebih kreatif dan inovatif, mungkin saja kualitas film lokal bisa jauh lebih baik tapi itu masih butuh waktu dan perbaikan dalam berbagai hal. Namun yang pasti pelarangan film asing tidak ada hubunganna dengan kualitas film lokal. Judstru harus dijadikan sebagai acuan dan kompetitor untuk meningkatkan mutu dan kwantitas produksi film nasional.
Faktanya film Indonesia pasti bisa maju. Tapi tidak dengan mencekal karya-karya asing yang merupakan barometer perkembangan perfilman dunia. Diapa sih yang bisa menyangkal pengaruh Hollywood terhadap erfilman dunia, dan siapa sih yang ga kenal dengan keglamouran Oscar? Film Indonesia bergairah karena sineas lokal, bukan karena film Hollywood. Sebelum era reformasi tahun 1998, film Indonesia memang sangat lesu. Setelah itu, film Indonesia bangkit. Siapa yang membangkitkan? Sebut saja film 'Petualangan Sherina' dan film remaja 'Ada Apa Dengan Cinta?'. Yang membangkitkannya orang Indonesianya sendiri. Buktinya apalagi? Setelah itu diawal tahun 2000-an, Indonesia kebanjiran produksi film. Bahkan saat 'Laskar Pelangi' muncul dengan jumlah penonton terbanyak 4,2 juta di Indonesia. Sejauh ini 'Laskar Pelangi' belum bisa ditaklukan. Film Hollywood sekalipun belum ada yang menembus angka penonton segitu saat diputar di Indonesia. Artinya, jika memang filmnya berkualitas, penonton pasti memilih untuk menontonnya. Bukan karena ia produksi asing atau lokalnya. Namun sayangnya setelah 'Petualangan Sherina', 'Ada Apa Dengan Cinta?', atau 'Ayat-ayat Cinta', tidak ada inovasi lagi. Banyak tema film yang sama, namun tidak berkembang. Misal pertama kali film horor 'Jelangkung', film itu inovsi baru yang menyatukan pop culture dan hantu. Tapi setelah itu, film horor semua serupa, dengan cerita yang sama, plotnya sama. Begitu juga 'Petualangan Sherina', jauh setelah itu hanya beberapa film anak-anak yang kembali diproduksi, seperti 'Denias', 'Laskar Pelangi', 'Garuda Di Dadaku' dan lain-laian.
Dengan tidak adanya film dari Hollywood dan Eropa, para sineas di Indonesia justru akan semakin terpacu untuk membuat film-film yang bagus dan berbobot. Tapi sisi bagusnya pemikiran orang Indonesia khususnya pembuat film, akan berkembang dari sisi kreatifnya. Ada sisi positifnya, dari 4 studio yang biasa dibagi 2 film asing, 2 film indonesia. Nah sekarang jadi kita tidak ada saingan. Tapi pertanyaannya, apakah Indonesia mampu mengisi kekosongan yang setara? Sineas Indonesia akan seperti dipaksa menandangi Hollywood. Sementara untuk membuat film seperti itu butuh dukungan banyak hal. Diperluakan studio besar, membutuhkan infrastruktur film bagus, tekhnologi tinggi dan lain-lain. Kita mampu nggak? Harus ada modal yang banyak untuk surtadara baru. Kita harus membuka peluang buat sutradara baru, penulis baru, dan kamera baru, buat lab film juga. Semua fasilitas dan infrastruktur harus bisa terlengkapi untuk mendongkrak kwalitas dan kwantitas produksi agar perfilman Indonesia bisa maju dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jadi untuk apa melarang-larang enayangan film asing yang jelas-jelas tidak ada pengaruhnya terhadap perbaikan perilman lokal. Rasa-rasanya, peraturan ini jelas harus ditinjau ulang. Kembalikan Hollywood kepada kami!!!
Tapi ketika perfilman Indonesia mulain bangkit, Hollywood tetap menjadi pilihan yang tak bisa dile
paskan dari minatku yang masif terhadap film. Bermacam genre film Indonesia mulai menggoyang pasar tapi tak cukup mampu menggoyang minatku. Pernah aku mencoba untuk menikmatinya seseskali, tapi kemusian aku jadi sedikit menyesal menghabiskan waktu dan uang menonton film yang kualitasnya masih belum membanggakan, dan pilihannya masih monoton. Pada awal bangkitnya, film lokal didominasi oleh film dengan cerita cinta remaja, kemudian berkembang sedikit variatif. Namun entah mengapa, sekarang justru dipenuhi oleh film-film berbau seronok dan mistis menjijikkan, walau masih ada beberapa produksi film lokal yang bermutu tentunya. Semoga fenomena film yang nyeleneh tersebut mendapat perhatian dari sineas dan lembaga terkait negeri ini. Namun, sejalan dengan keadaan itu, film Indonesia mampu bersanding bersamaan dengan film Hollywood dan film asing lainnya, walau faktanya film lokal masih kalah dalam hal kualitas dan jumlah produksi.
Hollywood memang pantas menjadi pilihan karena produksi filmnya yang tetap stabil, variatif, serta kualitas pantas di acungi jempol. Hollywood kemudian menjadi idolaku di ranah perfilman. Aku berdecak kagum dengankeajaiban yang dipersembahkan Hollywood dalam masterpiece demi masterpiece. Sebut saja diantaranya ada Titanic (1997), film terlaris sepanjang masa yang berhasil membuatku berkaca-kaca. The matrix (1999), breakthrough CGI yang membuat aku nyaris tak bergerak ketika menikmati kedasyatan film ini, dan ada juga Avatar (2009), yang menjadi film paling indah dengan setting virtual Planet Pandora yang super cantik, berhasil membuatku seakan bermimpi menyaksikannya. Dan entah sudah berapa juta film dari berbagai genre pernah ku tonton, terutama-film-film produksi Hollywood. Dan tak pernah terbayangkan jika-film-film itu tak lagi bisa dinikmati di negeri ini. Just can't live without movies.
Nah sekarang muncul kehebohan yang cukup membuat parno. Film-film Hollywod yang megical itu dilarang putar di bioskop? Tidaaaaaak! Bea Cukai Indonesia telah memberlakukan ketentuan bea masuk atas hak distribusi film impor, sehingga film asing di Indonesia ditarik dari semua bioskop di Tanah Air. Tak ada lagi film asing yang tayang di semua bioskop di Indonesia, termasuk 21 Cineplex mulai Jumat 18 Februari 2011. Perwakilan Motion Picture Association (MPA) sempat datang dan berkoordinasi dengan pihak 21. Namun, asosiasi perusahaan film asing itu tetap pada keputusan menarik semua film yang beredar ataupun belum. MPA mewakili sejumlah perusahan film Asing, sudah resmi menarik semua film. Bukan hanya film baru tapi juga yang sudah beredar berkoordinasi dengan pihak bioskop 21 Cineplex. Menurut juru bicara 21 Cineplex, Noorca Massardi, hal tersebut tidak lazim dan tidak pernah ada dalam praktik bisnis film di seluruh dunia. Sebab, yang disebut bea masuk itu hanya berlaku untuk barang masuk. Dan untuk itu setiap kopi film impor yang masuk, selama ini sudah membayar bea masuk+pph+ppn = 23,75 persen dari nilai barang. Selain itu, Negara/Ditjen Pajak/Kemenkeu selama ini juga sudah menerima pajak penghasilan 15 persen dari hasil eksploitasi setiap film asing yang diedarkan di Indonesia. Pemda/pemkot juga menerima Pajak Tontonan dalam kisaran 10-15 persen untuk setiap judul film impor/nasional. Pihak Motion Pictures Association (MPA) dan Bioskop 21 sudah mengajukan argumen penolakan/keberatan terhadap Bea Masuk untuk Hak Distribusi, namun keberatan itu tidak digubris. Menyikapi hal itu, MPA sebagai asosiasi produser film Amerika memutuskan tidak mendistribusikan film Amerika di seluruh wilayah Indonesia mulai Kamis, 17 Februari 2011. Film-film impor yang sudah masuk dan sudah membayar bea masuk dalam ketentuan lama, juga tidak akan ditayangkan di Indonesia (seperti Black Swan, True Grit, 127 Hours, dll).
Beberapa film mulai ditarik peredarannya, dan yang sudah rencana tayang, jadi batal. Otomatis, iklan-iklan film di media, termasuk koran akan dihentikan. Penerapan peraturan baru tentang impor film asing yang dilakukan Dirjen Pajak juga berpengaruh kepada peredaran film-film asing lainnya. Pihak importir film Indonesia akan berhenti mendatangkan film-film tersebut. Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (IKAPIFI) mengamini langkah Hollywood menghentikan pasokan film ke Indonesia. Dengan sendirinya Ikatan Perusahaan Importir Film Indonesia (Ikapifi) juga berhenti membeli film-film asing, bahkan termasuk film Eropa, Mandarin, Bollywood, dan film-film independen dari seluruh mancanegara. Karena Ikapifi merasa aturan ini akan berlaku buat mereka juga. Sungguh kerumitan yang memprihatinkan. Tak ada lagi Harry Potter, tak ada lagi Transporters, tak ada lagi Angelina Jolie, Helle Berry, Tom Cruise, Brad Pitt, Keanu reeeves, Mila Jovovich, Ashton Krucher, Jacky Chan, Stephen Chow, Zhang Zee Yi, dan bintang-bintang keren lainnya. Too damn bad!
Keputusan Hollywood stop mengirimkan produksi filmnya pasti akan banyak mengundang reaksi. Dari jutaan penikmat film lainnya, saya adalah satui diantaranya. Ya kecewa bangat lah, karena pastinya film-film Hollywood tidak bisa masuk perihal pajak. Padahal keputusan tersebut tak benar-benar menyelesaikan masalah. Bahkan dikhawatirkan, kalaupun film asing ditayangkan di Indonesia, tiketnya bisa-bisa menjadi sangat mahal. Imbasnya, pasti akan sangat terasa. Diantaranya, masyarakat akanlebih suka mengkonsumsi DVD dan VCD bajakan. Banyak bioskopakan gulung tikar karena orang-orang malah beralih ke DVD bajakan. Sekarang saja DVD bajakan sudah digandrungi, apalagi kalau nantinya biaya nonton mahal. Yang pasti, pecinta film di Indonesia tidak akan kesulitan menikmati film-film baru garapan Hollywood dan Eropa. DVD bajakan akan menjadi pilihan pasti jika pemerintah terus menerapkan kebijakan larangan film Hollywood masuk ke Indonesia.
Sisi positif tidak diedarkannya film asing ke Indonesia adalah membuka peluang lebih untuk eksistensi film Indonesia. Namun pertanyaannya, apakah senias Indonesia bisa mengisi kekosongan layar bioskop yang sebelumnya diisi oleh film asing? Dengan tidak adanya film asing di bioskop, alternatif tontonan akan menjadi lebih sedikit. Meski film Indonesia tidak jelek, namun dilihat dari keragamannya masih sangat kurang. Film Indonesia pada umumnya selalu mengarahnya ke cinta, pada hal kita juga perlu hiburan jenis lain selain film cinta, misalnya film action yang sampai saat ini belum pernah diproduksioleh sineas kita. Kalau pun ada, kualitasnya masih tidak memuaskan seperti menonton film-film action Holliwood atau Mandarin. Bisa diakui bahwa sineas Indonesia saat ini memang sudah semakin kreatif. Namun untuk membuat film action yang bagus, masih belum mampu. Selain itu, tekhnologi, teknik pembuatan dan kualitas film Hollywood dan Eropa jauh lebih bagus dibanding Indonesia. Film Indonesia sekarang ini masih lebih banyak mengedepankan sisi komersialnya saja. Film-film yang beredar masih mengutamakan tema cinta, komedi berbau pornografi, mengeksploitasi perempuan dan mistis. Jika para sineas mau lebih kreatif dan inovatif, mungkin saja kualitas film lokal bisa jauh lebih baik tapi itu masih butuh waktu dan perbaikan dalam berbagai hal. Namun yang pasti pelarangan film asing tidak ada hubunganna dengan kualitas film lokal. Judstru harus dijadikan sebagai acuan dan kompetitor untuk meningkatkan mutu dan kwantitas produksi film nasional.
Faktanya film Indonesia pasti bisa maju. Tapi tidak dengan mencekal karya-karya asing yang merupakan barometer perkembangan perfilman dunia. Diapa sih yang bisa menyangkal pengaruh Hollywood terhadap erfilman dunia, dan siapa sih yang ga kenal dengan keglamouran Oscar? Film Indonesia bergairah karena sineas lokal, bukan karena film Hollywood. Sebelum era reformasi tahun 1998, film Indonesia memang sangat lesu. Setelah itu, film Indonesia bangkit. Siapa yang membangkitkan? Sebut saja film 'Petualangan Sherina' dan film remaja 'Ada Apa Dengan Cinta?'. Yang membangkitkannya orang Indonesianya sendiri. Buktinya apalagi? Setelah itu diawal tahun 2000-an, Indonesia kebanjiran produksi film. Bahkan saat 'Laskar Pelangi' muncul dengan jumlah penonton terbanyak 4,2 juta di Indonesia. Sejauh ini 'Laskar Pelangi' belum bisa ditaklukan. Film Hollywood sekalipun belum ada yang menembus angka penonton segitu saat diputar di Indonesia. Artinya, jika memang filmnya berkualitas, penonton pasti memilih untuk menontonnya. Bukan karena ia produksi asing atau lokalnya. Namun sayangnya setelah 'Petualangan Sherina', 'Ada Apa Dengan Cinta?', atau 'Ayat-ayat Cinta', tidak ada inovasi lagi. Banyak tema film yang sama, namun tidak berkembang. Misal pertama kali film horor 'Jelangkung', film itu inovsi baru yang menyatukan pop culture dan hantu. Tapi setelah itu, film horor semua serupa, dengan cerita yang sama, plotnya sama. Begitu juga 'Petualangan Sherina', jauh setelah itu hanya beberapa film anak-anak yang kembali diproduksi, seperti 'Denias', 'Laskar Pelangi', 'Garuda Di Dadaku' dan lain-laian.

*source: dari berbagai sumber
SOCIALIZE IT →