nya. Kemudian bisikan suara-suara tak jelas memenuhi relung pemikirannya. Semakin lama semakin jelas hingga hanya ada suara prihatin yang begitu menyentuh mendominasi keributan dalam kepalanya. Suara itu lah yang memceritakan banyak hal padanya sore ini, ketika ia sedang termangu sendiri dalam penantian yang tak jelas di halte busway.
Dia hanya menoleh pelan tanpa ekspresi kepada seraut wajah ramah yang melihatnya dengan keprihatinan yang kentara. Dan tanpa ketertarikan sedikit pun untuk menceritakan apa yang menjadi duri dalam hatinya, ia kembali menunduk lesu.
"Maaf kalo ucapanku mengganggu. Tapi sepertinya kamu lagi sedih bangat ya? Cinta memang bisa memberikan kebahagiaan tapi juga kepedihan seperti yang kamu alami. Mungkin ini akan sedikit membantu, bahwa dalam waktu dekat semua pertanyaan yang ada dalam dirimu akan terjawab. Akan ada peristiwa besar menantimu akhir minggu ini..."
Ia mulai tertarik dengan apa yang dikatakan orang asing itu. Memperhatikan keseriusan orang yang bergerak santai memposisikan diri duduk disampingnya, di halte bis yang kosong ini. Bagaimana mungkin orang ini tau apa yang dialaminya? Ah mungkin ia hanya menebak-nebak. Pikirannya berbisik menggoda kesendiriannya mengabaikan keramaian yang menjadi latar belakang situasi sore yang hiruk.
"Percaya nggak dengan ramalan?"
Dia hanya tersenyum datar menanggapi pertanyaan itu. Sebuah sikap yang tidak ekspresif dan dianggap sebagai jawaban 'tidak' oleh orang tersebut. Dan orang itu melanjutkan tanpa mempedulikan ekspresinya yang sedikit agak keberatan ditemani orang asing yang tak pernah dikenalnya.
"Ayolah.. Jangan meresapi kesedihan itu terlalu dalam, atau nanti kamu akan tercekik sendiri oleh kepedihannya."
Wah, bahasa yang menyakinkan dan berhasil mencuri perhatian yang tadi dikekang nya hanya untuk menelusuri kesendirian yang membelenggu. Dan ia mulai melonggarkan kehati-hatiannya dengan menghadiahkan senyum yang terasa dipaksakan di sudut bibirnya yang kering. Orang tersebut membalas senyumnya dengan tulus. Seorang pria parubaya dengan pendar ketulusan semerbak menghiasi auranya yang kental. Raut muka yang cerdas memberi keyakinan padanya bahwa orang ini memiliki wawasan yang luas, dan tampilan rapi yang patut diacungi jempol. Tidak ada aroma keangkuhan, manipulasi atau pun kebejatan peradaban dalam diri orang asing tersebut.
"Maaf.. Boleh saya lihat telapak tangan mu. Itu sih kalau tidak keberatan?" ujarnya sambil menadahkan tangannya sendiri untuk menyambut tangan yang dimintanya. Dengan sedikit ragu bercampur penasaran, ia memperlihatkan telapak tangannya yang disambut oleh genggaman pria tersebut dengan sopan. Pria yang gentleman.
"Mutya..."
"Apa? Oh ya.. nama yang indah. Keindahan selalu terancam untuk dieksploitasi. Sudah begitu kodratnya. Mhh..." Pria itu bergumam sambil terus berkosentrasi penuh pada gurat-gurat di tangannya. Seakan membaca halaman buku eksakta dengan rumus-rumus yang membingungkan, kernyitan halus semburat di dahinya menandai keseriusan membaca hal tersirat dibalik garis tangan. Sesaat dia bingung harus bagaimana sementara si pria berkutat pada garis tangannya. Selebihnya ia hanya pasrah sambil melirik pada orang-oranmg yang berlalu lalang menoleh melihat pada apa yang sedang dilakukan si pria; meramal.
Kesadarannya ditarik paksa dari ruang khayal yang menyenangkan. Kilas balik dari apa yang sekarang memenuhi relung semberawut dalam pikirannya. Benarkah apa yang diucapkan orang itu tadi? Entah lah. Yang pasti hatinya semakin risau dan pikirannya semakin galau. Kisah-kisah yang pernah menoreh hati kembali menyerang ingatannya. Kilasan-kilasan tajam kepedihan membuatnya pusing, walau terkadang dia memaksakan kepedihan itu pergi dengan membayangkan kenangan indah cintanya. Tapi yang mendominasi tetaplah apa yang sekarang dialami hatinya. Masalah dan masalah. Entah kapan ini akan berhenti. Namun yang pasti ia akan memaluinya dengan kearoganan seorang wanita yang mencinta. Menjaga hatinya dengan kekuatan kasat mata serta menguji ketulusannya sendiri yang perlahan menghangatkan kekhawatirannya akan kebahagiaan.
"Kriiiiiiing...."
Dering nyaring memekakkan telinganya. Memaksa kesadarannya kembali kekeadaan dimana dia sedang berbaring letih dengan pencahayaan yang minim di kamar itu. Dia memungut handphone yang dari tadi terabaikan tergeletak di sampingnya, di antara selimut dan bantal bercorak bunga-bunga kesukaannya. Dia menatap layar handphone yang berkelip riuh seiring deringnya yang semakin memuakkan. Viona. Nama itu tertulis jelas di monitor yang berkedip-kedip.
"Mmm, tumben-tumbenan...". Ia berbisik sendiri sambil memperbaiki posisi ke keadaan yang lebih nyaman. Ia beringsut mengangkat tubuh dan duduk di pinggiran tempat tidur. Dan mulai memencet tombol receive call sambil menempelkan handphone ke telinga kanannya.
"Hallo..."
"Ya, hallo. Ini Mutya?."
"Ya. Apa kabar Vi? Lama juga ga dengar suara lo. Lagi dimana nih?"
Terdiam sebentar, dan kemudian dia menjawab dengan suara datar, "Ah, ga ini lagi ditempat saudara... Lo gimana kabarnya?"
"Aku baik. Kapan lagi main ke sini? Seru juga cerita-cerita.."
"Kapan-kapan deh.."
Kemudian dengan kegirangan yang lugu ia mulai bercerita tentang banyak hal. Tentang keadaan dan hal-hal yang mungkin menarik bagi Vivi (panggilan akrabnya) sambil bercanda meriangkan suasana. Tiba-tiba Viona nyeletuk denga suara yang terdengar ragu-ragu.
"Eh, Lo masih jadian kan sama Martin?"
"Itulah Vi.. Sebenarnya masih, tapi tau deh. Masalahnya ribet banget. Gue lagi males bicara soal itu. Kalo keinget jadi suka sedih sendiri."
"Ah, bisa aja lo.. Gimana kalo Martin gue rebut dari lo? Hahaha.." Candaan yang terasa agak mengejutkan dan sedikit kaku. Tapi ia berusaha terdengar tak terpengaruh oleh candaan Viona tentang Martin yang sekarang rasanya jadi topik sangat sensitif. Dan ia menjawab dengan berkilah.
"Idih.. Apaan si lo. Ambil aja kalo mau..."
Dan spontan Viona langsung menimpali, "Benar nih?! Yakin ga bakalan marah?"
Ia terdiam dan mulai berfikir agak curiga. Kenapa tiba-tiba perasaannya jadi tak enak dan rasanya ada semburat kecemburuan dalam dirinya yang tertahan oleh rasa malu dan tidak mau terlihat kekanak-kanakan.
"Bener. Ambil aja kalo lo emang ga mau temenan sengan gue lagi hehe.."
Seaat suasana hening. Dan ia sedikit terkejut dengan suara pria yang terdengar dari telepon Viona di seberang sana. Suara seorang pria memanggil sayang. Tiba-tiba hatinya berdebar tak terduga. Suara tadi seakan dikenalnya, tapi itu tidak mungkin. Berusaha berfikir logis ia pun menghapus prasangka yang mulai menjalari benaknya.
"Halo! Vi.. Lo masih di sana? Halo..."
"Eh, iya. Maaf Mut. Ada yang mangil gue tuh..." jawab Viona datar.
" Siapa sih, kok kelihatannya mesra banget? Cowok lo ya?"
"Ah nggak. Lo kan tau gue lagi jomlo. Eh, udahan dulu ya. Sepertinya ada tamu tuh. Oke... Bye".
Viona langsung mematikan telepon dengan sepihak. Ia bahkan belum sempat mengucapkan salam atau membiarkannya mengucapkan sesuatu untuk mengakhiri percakapan telepon itu. Sangat tidak biasa, ada apa ya? Mutya semakin tak habis fikir. Namun ia tak mau melanjutkan pemikiran yang mungkin tak akan ada jawabanya. Pikiran yang hanya akan menambah beban dalam kepalanya yang mulai berat terserang kantuk. Dan ia pun kembali merebahkan diri dan terlelap dalam pelukan tidur yang tak bermimpi.
is the boy martin?
BalasHapusQhi... Wait the second part. It will be suprising (based on true story)
BalasHapus