Aku berkencan dengan takdir. Berdamai dengannya dalam sebuah kepasrahan jiwa. Selalu ku ingin bisa berpaling walau hanya untuk sementara. Tapi aku tak akan pernah bisa. Sekarang aku hanya harus berusaha mencintainya walau sebenarnya banyak yang tak ku suka. Tapi aku akan tetap setia, tak peduli kemana pun ia akan membawa asa yang tersisa. Walau ke dalam kegelapan mencekam tanpa suara, ke dalam kepalsuan yang senantiasa menoreh sukma, atau ke dalam bahagia yang bersusah payah ku jangkau dengan jemari bagaikan meraup mega. Aku terus berusaha hingga tubuh tak lagi bernyawa...
Aku hanya akan pasrah, ketika takdir mengajakku berkencan dengan mesra.
Hal pertama yang ia rasakan ketika ia tersadar adalah rasa ngilu, perih dan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Ia berusaha keras untuk menggerakkan tubuhnya, tapi sepertinya tubuhnya enggan mendengarkan perintah otaknya. Malahan otaknya sendiri pun terasa sakit. Keadaan seakan perputar-putar seperti ketika ia menaiki salah satu permainan memacu adrenalin di taman hiburan. Tapi ini jelas bukan taman hiburan. Tapi di mana ini? Ia berusaha membuka mata, mengerjap dan melihat keadaan di sekitarnya. Keadaan begitu kacau. Reruntuhan di mana-mana, bahkan di atas tubuhnya yang terkulai lemah tak berdaya. Ia tak bisa melihat dengan leluasa ke segala arah tapi ia bisa mengenali keadaan yang jelas luluh lantak. Puing bangunan bertumpukan membentuk susunan rumit tak beraturan. Namun, langit tampak terlihat masih terang dari ruang-ruang terbuka di antara timbunan beton yang saling menindih menghalagi pandangan ke segala arah, di mana ia tertimbun di dalamnya. Suasana terdengar sunyi, atau apakah telinganya yang sudah tak berfungsi. Tapi ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri, yang memburu tak beraturan seakan-akan ia sehabis berlari beberapa kilometer. Ia menggerakkan kakinya, tapi tak ada gerakan.
Kemudian ia mencoba tangannya, ia hanya mampu menggerakkan secara terbatas karena terhambat reruntuhan. Ah, ternyata masih ada yang perfungsi dari tubuh ku ini, pikirnya sedikit menghibur diri. Ia kembali berusaha mengumpulakan informasi dari otaknya yang bingung dan pusing tentang apa yang telah terjadi. Tentang sebab mengapa ia berada dalam reruntuhan ini. Perlahan namun pasti ia kembali bisa mengumpulkan kesadarannya dan memutar memori kembali pada saat pertama ia berada di tempat ini. Ini rumahnya. Dan beberapa menit yang lalu ia sedang memanjakan diri bersantai di ruang keluarga sambil menonton TV dengan acara favoritnya, komedi. Namun, tiba-tiba gempa membuyarkan segalanya, ketenangan, kebahagiaan dan bahkan harapannya. Ia tadi bahkan sempat sangat panik, tak tahu harus berbuat apa atau lari kemana, hingga semuanya terlambat. Dan sekarang ia mendapati dirinya masih di ruang keluarga yang tentunya sudah tak rapi lagi. Atau lebih tepatnya tak berbentuk lagi. Bahkan sofa nyaman yang tadi didudukinya tak lagi terlihat, atau TV yang tadi menghiburnya dengan joke-joke yang segar tak lagi ada. Semuanya sudah berbaur menjadi kesatuan yang tak rapi, reruntuhan.
Aku hanya akan pasrah, ketika takdir mengajakku berkencan dengan mesra.
Hal pertama yang ia rasakan ketika ia tersadar adalah rasa ngilu, perih dan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Ia berusaha keras untuk menggerakkan tubuhnya, tapi sepertinya tubuhnya enggan mendengarkan perintah otaknya. Malahan otaknya sendiri pun terasa sakit. Keadaan seakan perputar-putar seperti ketika ia menaiki salah satu permainan memacu adrenalin di taman hiburan. Tapi ini jelas bukan taman hiburan. Tapi di mana ini? Ia berusaha membuka mata, mengerjap dan melihat keadaan di sekitarnya. Keadaan begitu kacau. Reruntuhan di mana-mana, bahkan di atas tubuhnya yang terkulai lemah tak berdaya. Ia tak bisa melihat dengan leluasa ke segala arah tapi ia bisa mengenali keadaan yang jelas luluh lantak. Puing bangunan bertumpukan membentuk susunan rumit tak beraturan. Namun, langit tampak terlihat masih terang dari ruang-ruang terbuka di antara timbunan beton yang saling menindih menghalagi pandangan ke segala arah, di mana ia tertimbun di dalamnya. Suasana terdengar sunyi, atau apakah telinganya yang sudah tak berfungsi. Tapi ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri, yang memburu tak beraturan seakan-akan ia sehabis berlari beberapa kilometer. Ia menggerakkan kakinya, tapi tak ada gerakan.
Kemudian ia mencoba tangannya, ia hanya mampu menggerakkan secara terbatas karena terhambat reruntuhan. Ah, ternyata masih ada yang perfungsi dari tubuh ku ini, pikirnya sedikit menghibur diri. Ia kembali berusaha mengumpulakan informasi dari otaknya yang bingung dan pusing tentang apa yang telah terjadi. Tentang sebab mengapa ia berada dalam reruntuhan ini. Perlahan namun pasti ia kembali bisa mengumpulkan kesadarannya dan memutar memori kembali pada saat pertama ia berada di tempat ini. Ini rumahnya. Dan beberapa menit yang lalu ia sedang memanjakan diri bersantai di ruang keluarga sambil menonton TV dengan acara favoritnya, komedi. Namun, tiba-tiba gempa membuyarkan segalanya, ketenangan, kebahagiaan dan bahkan harapannya. Ia tadi bahkan sempat sangat panik, tak tahu harus berbuat apa atau lari kemana, hingga semuanya terlambat. Dan sekarang ia mendapati dirinya masih di ruang keluarga yang tentunya sudah tak rapi lagi. Atau lebih tepatnya tak berbentuk lagi. Bahkan sofa nyaman yang tadi didudukinya tak lagi terlihat, atau TV yang tadi menghiburnya dengan joke-joke yang segar tak lagi ada. Semuanya sudah berbaur menjadi kesatuan yang tak rapi, reruntuhan.
Tiba-tiba kepanikan menjalari relung otaknya. Aduh, bagaimana ini? Di mana keluarga ku? Ayah, Ibu, dan adik ku, bagaimana keadaan mereka?, pikirnya sambil berusaha untuk bangkit, tapi tetap tak menghasilkan gerakan apa-apa selain nafasnya yang kian memburu. Ia teringat bahwa tadinya Ibu sedang masak di dapur dan Ayah sedang di kamar. Ia memanggil dengan lirih dengan segala kekuatan yang masih dimilikinya.
"Ayah... Ibu... Di mana kalian. Ayah...!" Teriaknya sekuat tenaga, tapi yang terdengar hanya erangan memilukan yang bahkan membuat ia sendiri terenyuh. Dan matanya mulai panas berlinang air mata yang kemudian luruh mengalir membasuh debu yang menutupi wajahnya yang masih terlihat pucat.
"Ayah... Ibu... Adik... Kalian dimana? Ayah... Ibu... Tolong jawab aku..." Ia terus memanggil sambil tetap berusaha bergerak. Rasa sakit luar biasa mulai menjalari tubuhnya yang masih tertindih reruntuhan. Namun ia melawan, berusaha mengabaikannya dan tetap merangkul erat kesadarannya. Keinginan untuk mengetahui kesalamatan keluarganya membuatnya bertekad harus bertahan, mengabaikan luka-luka yang tak bisa dilihatnya tapi ia tahu bahwa itu bukan hanya luka ringan. Ia kempabli berteriak. Kali ini disertai dengan panggilan minta tolong sambil terus berharap bahwa akan ada orang yang menjawab teriakannya.
"Ayah... Ibu... Dimana kalian?! Tolong... Ku mohon, jika ada orang tolong saya..."
Dengan terikan lirih sekuat tenaga ia terus berusaha menggeliat, bergerak untuk bangkit. Dan ia mulai menyadari bahwa usahanya akan sia-sia. Dan ia pun mulai berdoa, doa terkhusyuk yang mingkin pernah dipanjatkannya. Tuhan, jika ini memang takdir yang harus kuterima, mungkin ini cobaan atau bahkan hukuman dari dosa-dosa yang pernah ku perbuat, aku ikhlas menerimanya. Tapi ku mohon Ya Allah, mohon berikan aku kesempatan untuk mengetahui nasib keluarga ku. Berikan keselamatan atas mereka dan ampuni lah kami semua. Aku serahkan hidup dan mati ku pada Mu karena memang Engkau lah yang menentukan segalanya. Amin.... Ia pun menangis meratapi ketidakberdayaannya. Ia semakin lemah dan mulai merasa pusing yang bukan kepalang. Namun ada suara-suara yang sepertinya semakin mendekat. Ada orang di luar sana. Ia kembali berteriak minta tolong, dan lagi-lagi yang terdengar hanya erangan lirih. Suara-suara itu semain jelas, tapi kemudian memudar dan menggema di relung pendengarannya untuk kemudian sirna bersama kesadarannya. Meninggalkan dirinya sendiri bersama rasa sakit dan semua harapan yang semakin menggumpal dalam hatinya. Dan dalam kepasrahan, ia pun memasuki kegelapan total yang tak pernah ia kenal.
"Semoga aku bisa kembali," bisiknya.
Dan semuanya pun hening seketika.
***
Cinta tak memberikan apa-apa kecuali dirinya sendiri dan tiada mengambil apa pun kecuali dari dirinya sendiri. Cinta tiada memiliki, pun tiada ingin dimiliki; karena cinta telah cukup bagi cinta. Pabila kau mencintai kau takkan berkata, “Tuhan ada di dalam hatiku,” tapi sebaliknya, “Aku berada di dalam hati Tuhan”. Dan jangan mengira kau dapat mengarahkan jalannya cinta, sebab cinta, pabila dia menilaimu memang pantas, mengarahkan jalanmu. Cinta tak menginginkan yang lain kecuali memenuhi dirinya. Namun pabila kau mencintai dan terpaksa memiliki berbagai keinginan, biarlah ini menjadi aneka keinginanmu: Meluluhkan diri dan mengalir bagaikan kali, yang menyanyikan melodinya bagai sang malam. (Kahlil Gibran)
Terkadang ketika kita tak lagi memiliki kekuatan untuk melawan apa yang ingin kita kalahkan, pasrah adalah jalan yang membuat kita bisa ikhlas menerima ketidakberdayaan. Semuanya memang telah ditentukan-Nya, namun jangan berhenti untuk tetap optimis...
SOCIALIZE IT →