Ah cinta... Apa jadinya ketika aku kecewa terhadap cinta yang selama ini sangat ku puja? Ketidakberdayaan, penyankalan, pembenaran, kenekatan dan ketidakbahagiaan. Keyakinan ku sendiri mengkhianatiku. Hati yang dulu ku jaga dengan mimpi kini pecah penuh darah berserakan dilantai dingin kehampaan. Aku terlunta-lunta, merana karena imaginasi posesifku sendiri. Aku sedang patah hati. So, how will I deal with a broken heart? I'd like to hang my self and die...
I like you, I love you, then I want you. I trust you but look what I got in the first place, one smooth rejection as I consider it as a betrayal... Ya aku menyebutnya pengkhianatan terhadap keinginanku, atas nama cinta. Kekecewaan bertahta di hatiku. Harapan bahagiaku dicabik-cabik menjadi serpihan tak berbentuk. Tak ada lagi yang bisa ku lihat dengan bijak. Semua kabur bagai tertutup embun berjelaga evaporasi hati yang panas terkoyak. Aku menjadi begitu egois. Aku menderita karena persepsi, dan kini putus asa karena asumsi.
How do I deal with my broken heart? It's so killing me softly from the inside...
Patah hati bagaikan tusukan berjuta jarum menghujam ulu hati. Seakan dunia mencampakkanku ke kerumitan yg tak terbantahkan. Seperti takdir mengabaikanku dan menjadikanku berharap pada kemustahilan sebuah reinkarnasi. Pedih, kejam, tak adil, membingungkan, kecewa, pasrah, tak rela, dendam, kasihan, putus asa. Seakan harapan dan keajaiban do'a direnggut dariku. Menjadikan setiap cerita yg ku dengar bagai cemoohan yang menyakitkan dan memilukan, sehingga aku ingin menarik diri pada gelapnya gerbang waktu yang akan membawamu ke dimensi lain. Tapi kenyataan selalu lebih menyakitkan dari harapan dan pengandaian... If I could I would. If, andai saja.... Andai aku mampu... Andai aku menjadi sesuatu... Andai aku mempunyai ini-itu... Andai aku bukan aku... Andai dunia tak sekejam mimpi buruk ini.
So how am I gonna deal with a broken heart? Drag my self to the agony for eternity...
Dunia terasa menyakitkan, sempit dan gelap bagai lorong menuju kematian. I can't no longer belive in anything but my burden emotion. Like love is the evil thing ever happen in life. Like the world has no meaning anymore. Like life has brought me to a sudden end. Masa bodoh. Tak ada lagi yang berarti dari besarnya cintaku yang tersia-sia. Aku adalah pusat dari segalanya dan sekarang tak lagi berguna. Tak ada yang benar-benar sayang sehingga mau peduli aku akan tiada. Ini tak apa-apa. Kuatkah aku beranikah aku? Harus kah aku berdoa untuk kematianku sendiri? Ah, setidaknya aku ingin melakukanya dengan ritual kematian yang sedikit lebih bermoral. Tuhan pasti akan mengerti.
Jadi, gedung atau tali? Racun serangga atau urat nadi? Atau aku harus mengundi pilihan-pilihan kematian yang lebih bergengsi? I need something quick any unpaintful. Sesuatu yang kuat dan mematikan seperti kesunyian. Sianida... Ah, kematian yg mahal. Tapi telah ku ijeksikan ke hatiku yg hancur karena kepicikan ku sendiri. Jantungku berdenyut pelan dengan senandung lirih mengerikan. Nyanyian kematian yang tersamar hilang bersama terhentinya aliran di nadi kehidupanku. Berakhir sudah.
Now, I have to deal with my broken heart no more...
Pada akhirnya aku di sini. Tidak di dunia maupun di akhirat, tidak di neraka mau pun di surga, tapi diantara semuanya. Di antara kebahagiaan dunia dan gemerlapnya keabadian surga. Antara ada dan tiada. Tapi ini terlalu damai, ssunyi kuburan tua. Aku masih bisa menyaksikan kehidupan mengalir dari sudut pandanganku yang mengabur. Dan aku tak kunjung melihat cahaya terang yang menylaukan yang akan menjemputku dan membawaku kekeabadian. Aku masih di sini, dalam kegelapan. Ini jauh lebih buruk dari kematian itu sendiri.
Inikah akhir dari cinta tanpa logika. I don't want to deal with my broken heart like this. Tapi penyesalanku hanya menetes bersama air mata yang tak lagi bisa ku raba. Tidakkkkkh!
I like you, I love you, then I want you. I trust you but look what I got in the first place, one smooth rejection as I consider it as a betrayal... Ya aku menyebutnya pengkhianatan terhadap keinginanku, atas nama cinta. Kekecewaan bertahta di hatiku. Harapan bahagiaku dicabik-cabik menjadi serpihan tak berbentuk. Tak ada lagi yang bisa ku lihat dengan bijak. Semua kabur bagai tertutup embun berjelaga evaporasi hati yang panas terkoyak. Aku menjadi begitu egois. Aku menderita karena persepsi, dan kini putus asa karena asumsi.
How do I deal with my broken heart? It's so killing me softly from the inside...
Patah hati bagaikan tusukan berjuta jarum menghujam ulu hati. Seakan dunia mencampakkanku ke kerumitan yg tak terbantahkan. Seperti takdir mengabaikanku dan menjadikanku berharap pada kemustahilan sebuah reinkarnasi. Pedih, kejam, tak adil, membingungkan, kecewa, pasrah, tak rela, dendam, kasihan, putus asa. Seakan harapan dan keajaiban do'a direnggut dariku. Menjadikan setiap cerita yg ku dengar bagai cemoohan yang menyakitkan dan memilukan, sehingga aku ingin menarik diri pada gelapnya gerbang waktu yang akan membawamu ke dimensi lain. Tapi kenyataan selalu lebih menyakitkan dari harapan dan pengandaian... If I could I would. If, andai saja.... Andai aku mampu... Andai aku menjadi sesuatu... Andai aku mempunyai ini-itu... Andai aku bukan aku... Andai dunia tak sekejam mimpi buruk ini.
So how am I gonna deal with a broken heart? Drag my self to the agony for eternity...
Dunia terasa menyakitkan, sempit dan gelap bagai lorong menuju kematian. I can't no longer belive in anything but my burden emotion. Like love is the evil thing ever happen in life. Like the world has no meaning anymore. Like life has brought me to a sudden end. Masa bodoh. Tak ada lagi yang berarti dari besarnya cintaku yang tersia-sia. Aku adalah pusat dari segalanya dan sekarang tak lagi berguna. Tak ada yang benar-benar sayang sehingga mau peduli aku akan tiada. Ini tak apa-apa. Kuatkah aku beranikah aku? Harus kah aku berdoa untuk kematianku sendiri? Ah, setidaknya aku ingin melakukanya dengan ritual kematian yang sedikit lebih bermoral. Tuhan pasti akan mengerti.
Jadi, gedung atau tali? Racun serangga atau urat nadi? Atau aku harus mengundi pilihan-pilihan kematian yang lebih bergengsi? I need something quick any unpaintful. Sesuatu yang kuat dan mematikan seperti kesunyian. Sianida... Ah, kematian yg mahal. Tapi telah ku ijeksikan ke hatiku yg hancur karena kepicikan ku sendiri. Jantungku berdenyut pelan dengan senandung lirih mengerikan. Nyanyian kematian yang tersamar hilang bersama terhentinya aliran di nadi kehidupanku. Berakhir sudah.
Now, I have to deal with my broken heart no more...
Pada akhirnya aku di sini. Tidak di dunia maupun di akhirat, tidak di neraka mau pun di surga, tapi diantara semuanya. Di antara kebahagiaan dunia dan gemerlapnya keabadian surga. Antara ada dan tiada. Tapi ini terlalu damai, ssunyi kuburan tua. Aku masih bisa menyaksikan kehidupan mengalir dari sudut pandanganku yang mengabur. Dan aku tak kunjung melihat cahaya terang yang menylaukan yang akan menjemputku dan membawaku kekeabadian. Aku masih di sini, dalam kegelapan. Ini jauh lebih buruk dari kematian itu sendiri.
Inikah akhir dari cinta tanpa logika. I don't want to deal with my broken heart like this. Tapi penyesalanku hanya menetes bersama air mata yang tak lagi bisa ku raba. Tidakkkkkh!
Ironis... Memangnya bunuk diri itu enak apa? Dosa tau!
BalasHapusExtremely nice diction. Saya suka formulasi rangkaian kata anda, aliterasinya menciptakan harmonisasi. Dan jelas sekali ini satire (ejekan) utk org yg begitu bodoh mau bunuh diri... Apa lagi cuma krn patah hati. Menyedihkan!
BalasHapusMenyedihkan... Btw, sianida itu apa? Walau pakai apa pun rasanya bunuh diri itu tatap menyakitkan, kecuali gantung diri di pohon toge haha. WARNING, DON'T TRY THIS AT HOME!!! :p
BalasHapus