Kisah kita adalah cerita rentan yang terpapar indah tatkala aku sedang menata hidup di ambang kedewasaan. Di saat cinta bukan prioritas utama untuk ku pilih karena tanggung jawab hidup jauh lebih menuntut untuk dirunut. Jadi, aku sangat sadar bahwa pondasi keterikatan kita bukan sebuah Rencana A, tapi cerita accidentally in love yang ku akui sangat indah. Keajaiban cinta memang telah membuat ku terlena seiring semakin besarnya hasrat dan wajahmu mulai hadir membayangi keseharianku, menggelitik anganku.
Aku memang telah jatuh cinta. Tapi bukan aku orangnya, jika cinta mampu membuatku mabuk cukup parah hingga aku lupa esensi hidup dalam dinding logika. Mengabaikan keharusan bahwa aku butuh kemapanan untuk meraih kebahagiaan cinta sebenarnya. Aku terlalu cerdas untuk bisa dibodohi legenda dan dongeng, atau perbandingan cara hidup konvensional yang sederhana. Karena nyatanya, hidup memang tidak memiliki bingkai berukir atau sampul berhias bebungaan indah dengan judul berwarna emas menakjubkan. Kamu tau itu. Kita telah mepaparkan paradigma kompleks ini di beberapa kesempatan, di antara renyahnya obrolan dan tawa menyenangkan, di sela pertengkaran dan ketidaksepahaman.
Cinta berpadu. Rindu menyatu. Ketika kita jalani pun aku tak begitu istimewa dibandingkan kisah-kisah teman yang kamu tuturkan. Tak bisa diandalkan, cuek, santai, minus kejutan dan rayuan; sangat jauh dari portfolio seorang Romeo nan romantis. Aku aneh! Tapi sekali lagi aku sudah jujur, inilah aku. Apa adanya aku. Bukan pangeran, manusia super, atau pecinta ulung dalam kisah-kisa populer karya pujangga. Juga bukan orang yang pantas dibandingkan dengan teman-teman bahagia yang kamu gambarkan dengan penuh ingin. Dan aku tak pernah menjanjikan apa-apa karena tak ada yang harus ku janjikan sebagai agunan cinta. Katamu 'aku bisa berusaha'. Tapi nyatanya, aku tak sanggup menjadi orang yang ada di dalam imajinasimu. Karena aku adalah aku. Kamu gerah. Aku Marah. Dan aku menyerah. Pilihan ada padamu. Aku pun kecewa.
Selanjutnya takdir seakan mencela kebersamaan kita. Jarak menjadi sesuatu yang memberatkan, walau pun komitmen sekarang jauh berbeda. Kita sang mantan yang bersahabat. Namun, kita sudah saling jujur bahwa perasaan kita masih berbicara sama, bahasa cinta. Dan aku sudah mengingatkan kamu tentang persahabatan kita yang riskan. Aku objektif. Aku berusaha realistis. Ini akan sia-sia. Kita harus lanjutkan hidup, dan hanya akan mempersempit peluang untuk kembali menata hati. Tanggapanmu masih segar di ingatanku, 'Aku tak bisa melupakan cinta, biarlah ku jalani saja apa adanya'. Dan kita kembali terlena. Aku tak pernah bisa menjanjikan apa-apa.
Sekarang waktu terasa melambat, setiap detiknya menyayat hati dan pemikiranku yang lelah. Tak hanya hidup dan harapan, sekarang juga ada kamu dan rasa salahku bertahta dibenakku. Ada goresan kecewa bercampur pasrah mengiris hatiku ketika tingkahmu masih menganggap wajar kesalahan substansial hubungan ini. Kemarahanmu membisu ketika aku mengatakan kejujuran melihat kenyataan. Bahwa aku berusaha rasional memposisikan substansi logika. Fakta bahwa kita hanya membuang-buang masa dengan terlena bersama cinta tanpa arah. Komitmen kita tak lagi cinta sebenarnya, tapi sikapmu seakan berucap lantang "Tolong perhatikan aku karena itu tanggung jawabmu sebagai Romeo." Tidak, cintaku hanyalah keikhlasan bukan tuntutan. Bukan keharusan. Bukan ini bukan itu. Dan kenyataan memang selalu lebih berat untuk dijalani. Apalagi ketika sekarang hidupku tidak terlalu berarti. Tuntutan, kewajiban, dan asa masih tergores jauh di horizon senja. Dan aku tak bisa berhenti memikirkannya ketika insomnia menyeret paksa kesadaranku sepanjang malam mencekam.
Cintaku selalu bergulat sengit berusaha menekan kenyataan. Bahwa ia ingin berjaya dalam mahligai janji yang pasti. Tapi itu berarti aku menginkari nurani. Makanya, walau berat aku memilih jujur membantah ego mengelabui hati. Menekan rindu yang terus menggebu keliru. Dan kamu menghakimiku karenanya. Kamu marah padaku. Nah, aku semakin bingung. Lelah menuai mimpi. Sekarang aku hanya sanggup mempersembahkan kepasrahan yang tersisa. Akan ku terima kenyataan cinta seberat apa pun ia mendera jiwa. Menganiaya raga. Biarlah aku yang salah jika ini bisa menghapus harapan-harapan semu dan membuatmu terjaga dari mimpi panjang kesempurnaan cinta. Biarlah kemarahanmu menghantuiku sepanjang jalan asalkan pada akhirnya kau menemukan bahagia di salah satu belokannya, tepat di bawah pohon rindang kemujuran. Bencilah aku sebesar yang kau mau tapi aku akan selalu mengharapkan yang terbaik untuk bahagiamu. Inilah pengorbananku untuk cinta yang selalu ku banggakan, walau pun dunia menganggapnya tidak seberapa. Belum lah apa-apa. Ku yakinkan padamu seperti esensi Gibran menggubah cinta: 'cintaku sangatlah sederhana, seperti hakikat awan putih di langit biru yang ikhlas jatuh luruh menjadi hujan'.
SOCIALIZE IT →