Distorsi...

Aku pernah pupus bersama lara ketika asa tak lagi mampu menjadi fakta yang membanggakan. Aku pun pernah luluh bersama gemuruh hujan yang menjadikan banjir di ujung barat persada. Dan yang terpenting aku pernah mendendam akibat kebodohan kawan yang mengusik hati dibayangi harga diri. Aku marah, seperti singa bersurai emas yang mengaum buas menunjukkan taring-taringnya yang lancip mengitimidasi. Aku merajuk seperti merpati putih menciap lirih diketingian sarang jeraminya yang bundar kehilangan induk yang pergi mencari makan malam. Itu terjadi hanya karena aku merasa dibodohi. Bukan karena aku benar-benar bodoh, atau dia cukup pintar untuk dikatakan tidak bodoh, tetapi karena dia telah menyinggung prestise-ku yang rapuh. Sensitifitas yang selalu berusaha ku sembunyikan diantara bayang-bayang kelam ego ku dan telah lama ku simpan rapi berbungkus kesabaran di sudut labirin hati paling tersembunyi. Tapi dia telah merenggut kemarahanku. Seperti taring serigala mengoyak tubuh menjangan muda yang dingin tertutup salju kemerahan bercampur darah. Menarik logika ku bagai tambang pengikat perahu yang rapuh terpapar terik matahari dan uap garam amis. Tak hayal egoku berontak, menggantung di relung arogansi yang memprovokasi kebencian menjadi dendam. Dendam yang tak pernah sama dengan sebelumnya, atau dengan kisah klasik dalam cerita romansa India. Waktu itu hanya dendam biasa yang bisa hilang tersiram gerimis sore yang berpelangi. Tapi, harga diri menjadikannya lebih buruk. Menjadikan dendam berlarut dalam dimensi yang semakin ruwet menyiksa hati. Ia akan membesar mencapai titik kulminasi tertentu hingga mendidih dan meleleh di bawah paparan kesabaran yang berujung pemahaman suram. Dia tidaklah sepenting apa yang selama ini diilustrasikan keadaan. Dia hanya seorang kawan yang arogan seperti kesombongan malam yang kemudian pupus bersama cahaya pagi yang lebih pasti.

Aku tak pernah meyakini bahwa hatiku sekokoh karang di pantai yang berhadapan langsung dengan samudra. Atau seteguh hati para prajurit kerajaan yang berjuang di garis depan tanpa baju besi mahal seperti yang dikenakan jendral mereka. Namun aku selalu meyakini bahwa hatiku sanggup bertahan melewati gejolak seberat apa pun yang mungkin terjadi dalam kancah dunia yang semakin tua. Karena aku sadar bahwa keimanan, ego, harga diri dan logika selalu menciptakan keseimbangan melawan anomali-anomali yang merusak hati menjadi benci. Dan aku berusaha untuk menjadi kokoh atau berani sehingga tak akan ada elegi yang cukup dasyat menyayat ketenangan hatiku.

There's something inside me that pulls beneath the surface
consuming..
confusing..
this lack of self-control I fear is never ending
controlling..
I can't seem
to find myself again
my walls are closing in
(without a sense of confidence and I'm convinced that there's just too much pressure to take)
I've felt this way before
so insecure..
crawling in my skin
these wounds they will not heal
fear is how I fall
confusing what is real




*countesy of Linkin Park - Crawling