Apakah yg terjadi ketika kesederhanaan berfikir dibayangi oleh ketidak-tahuan? Dan bagai mana seharusnya manusia berpikir dalam hidupnya? Tulisan ini adalah analogi sederhana dari beberapa pengalaman menarik sebagai orang yang suka bercerita. Sebuah gambaran bagaimana akar-akar kebodohan tumbuh dan melilit ranting-ranting toleransi yang rapuh. Dan menjatuhkan kuncup-kuncup argumentasi yang siap mekar sebelum sempat berkembang menjadi buah logika yang ranum.
Aku mungkin adalah orang yang paling membenci kebodohan. Karenanya selama ini aku berusaha menjadi orang yang mumpuni untuk mengakali keterasingan dari tradisi dan globalisasi. Namun tak bisa ku pungkiri bagaimana pun aku berusaha menjadi orang yang objektif dgn tidak mengkotak-kotakan orang lain, tetap saja aku cendrung mengharapkan orang yg terlibat dng hidupku yang sederhana untuk jadi lebih adaptif dengan pola pikirku. Aku jadi lebih bersikap menuntut agar orang lain mau menjadi lebih logis agar bisa sesuai dgn apa yang aku inginkan ada dalam diri orang yang berinteraksi denganku. Atau kalau tidak terkadang aku selalu ingin menjadikan orang tahu apa yang aku tahu. Dengan demikian mereka akan lebih menyenangkan untuk diajak bicara dan bercengkrama. Dan ketahuilah, sungguh menyenangkan bisa membicarakan banyak hal karena memiliki logika yang aktif dan wawasan yang luas.
Kalau boleh berpendapat, kebodohan adalah hal yang paling harus dimusnahkan dari muka bumi ini. Dan aku akan sangat mendukung bangat jika tanggal 31 Desember dijadikan 'Hari Anti Kebodohan Sedunia', agar orang-orang bisa mengintrospeksi dirinya agar tidak lebih bodoh dari tahun ke tahun. Tapi kebodohan macam apa yang harus diprioritaskan? Mengingat kebodohan itu bermakna sangat luas. Bahkan ketika orang paling jenius pun bisa melakukan kebodohan. Nah, untuk lebih spesifik, aku akan mempersempit fokus wacana ini. Yang aku maksudkan dgn kebodohan adalah ketika seseorang tak lagi mampu menggunakan logika dan nalurinya untuk mengaktualisasikan diri dan keinginannya. Artinya, setiap individu haruslah cukup cakap dalam mengimbangi perkembangan peradaban dan menggunakan logika yang logis untuk menjadikan dirinya lebih baik secara personal. Dengan demikian tak akan ada lagi orang-orang bodoh yang menghakimi hidup orang lain dengan hanya berdasarkan pemahamannya yang dangkal. Orang-orang 'bodoh' semacam ini justru akan menganggap orang yang berfikir 'out of box' seperti alien dari Pluto yang siap dipotret diteliti, terlebih lagi ditertawakan dengan cemooh yang paling menghina untuk menunjukkan perbedaan yang mencolok antara dirinya dgn si alien. Bukankah itu picik, jika terlalu kasar untuk dikatakan goblok, bodoh dan sebagainya?! Pemikiran yang subjektif dan merendahkan kredibilitas otak manusia sebagai komponen kalkulasi logika yang paling handal diciptakan Tuhan.
Sebagai kesimpulan, mungkin aku harus mengatakan agak memaksa. Bahwa berbicara dengan orang yang memandang hidup dengan naif itu melelahkan. Setidaknya itu pengalaman yang sering ku alami. Dari pada menemukan aspek argumentatif yang menantang logika dari sebuah topik, orang-orang naif justru mencari 'jalan yang aman' untuk keluar dari persoalan. Sungguh menggelikan, memandang hidup hanya dari pengalaman bergenerasi dengan mengabaikan infiltrasi, asimilasi atau bahkan degradasi kultural sebagai pertimbangan. Dan hasilnya tentu juga akan menciptakan hidup yang monoton tanpa bumbu-bumbu mengejutkan untuk ditantang. Dan seperti perkataan orang bijak, hidup itu adalah komedi bagi yang menjalani dan tragedi bagi yang mengamini.
"Jangan pernah mau dibodohi atau dikatakan bodoh. Karena aku percaya tidak ada orang yang cukup bodoh untuk menginginkan itu."
Aku mungkin adalah orang yang paling membenci kebodohan. Karenanya selama ini aku berusaha menjadi orang yang mumpuni untuk mengakali keterasingan dari tradisi dan globalisasi. Namun tak bisa ku pungkiri bagaimana pun aku berusaha menjadi orang yang objektif dgn tidak mengkotak-kotakan orang lain, tetap saja aku cendrung mengharapkan orang yg terlibat dng hidupku yang sederhana untuk jadi lebih adaptif dengan pola pikirku. Aku jadi lebih bersikap menuntut agar orang lain mau menjadi lebih logis agar bisa sesuai dgn apa yang aku inginkan ada dalam diri orang yang berinteraksi denganku. Atau kalau tidak terkadang aku selalu ingin menjadikan orang tahu apa yang aku tahu. Dengan demikian mereka akan lebih menyenangkan untuk diajak bicara dan bercengkrama. Dan ketahuilah, sungguh menyenangkan bisa membicarakan banyak hal karena memiliki logika yang aktif dan wawasan yang luas.
Kalau boleh berpendapat, kebodohan adalah hal yang paling harus dimusnahkan dari muka bumi ini. Dan aku akan sangat mendukung bangat jika tanggal 31 Desember dijadikan 'Hari Anti Kebodohan Sedunia', agar orang-orang bisa mengintrospeksi dirinya agar tidak lebih bodoh dari tahun ke tahun. Tapi kebodohan macam apa yang harus diprioritaskan? Mengingat kebodohan itu bermakna sangat luas. Bahkan ketika orang paling jenius pun bisa melakukan kebodohan. Nah, untuk lebih spesifik, aku akan mempersempit fokus wacana ini. Yang aku maksudkan dgn kebodohan adalah ketika seseorang tak lagi mampu menggunakan logika dan nalurinya untuk mengaktualisasikan diri dan keinginannya. Artinya, setiap individu haruslah cukup cakap dalam mengimbangi perkembangan peradaban dan menggunakan logika yang logis untuk menjadikan dirinya lebih baik secara personal. Dengan demikian tak akan ada lagi orang-orang bodoh yang menghakimi hidup orang lain dengan hanya berdasarkan pemahamannya yang dangkal. Orang-orang 'bodoh' semacam ini justru akan menganggap orang yang berfikir 'out of box' seperti alien dari Pluto yang siap dipotret diteliti, terlebih lagi ditertawakan dengan cemooh yang paling menghina untuk menunjukkan perbedaan yang mencolok antara dirinya dgn si alien. Bukankah itu picik, jika terlalu kasar untuk dikatakan goblok, bodoh dan sebagainya?! Pemikiran yang subjektif dan merendahkan kredibilitas otak manusia sebagai komponen kalkulasi logika yang paling handal diciptakan Tuhan.
Sebagai kesimpulan, mungkin aku harus mengatakan agak memaksa. Bahwa berbicara dengan orang yang memandang hidup dengan naif itu melelahkan. Setidaknya itu pengalaman yang sering ku alami. Dari pada menemukan aspek argumentatif yang menantang logika dari sebuah topik, orang-orang naif justru mencari 'jalan yang aman' untuk keluar dari persoalan. Sungguh menggelikan, memandang hidup hanya dari pengalaman bergenerasi dengan mengabaikan infiltrasi, asimilasi atau bahkan degradasi kultural sebagai pertimbangan. Dan hasilnya tentu juga akan menciptakan hidup yang monoton tanpa bumbu-bumbu mengejutkan untuk ditantang. Dan seperti perkataan orang bijak, hidup itu adalah komedi bagi yang menjalani dan tragedi bagi yang mengamini.
"Jangan pernah mau dibodohi atau dikatakan bodoh. Karena aku percaya tidak ada orang yang cukup bodoh untuk menginginkan itu."
SOCIALIZE IT →