"Ingatlah sakit ketika sehat mu..."
1997. Pagi itu aku semalas biasanya menjalani ritual pagi yang monoton. Mandi pagi, pakai seragam putih abu-abu kebanggaan, dan krasak-krusuk menyiapkan keperluan sekolah. Sebelum sarapan, sakit itu sudah menyerang. Awalnya hanya perih yang bisa diabaikan tapi kemudian semakin menjadi, nyeri dan menyentak hingga ke hulu hati. Aku panik, ini pertama kalinya sakit seperti ini menderaku. Aku berusaha mengabaikan waktu yang semakin bergulir ke siang. Pagi semakin pucat, sepucat wajahku yang mulai berkeringat menahan perih. Aku mencoba untuk kembali tidur di pembaringan yang belum dirapikan, tapi rasa sakitnya membuatku terus terjaga dan mengerang hingga pertengahan hari ketika rasa sakitnya hilang dengan sendirinya. Dan sekolah pun bolos pada hari itu. Hingga besoknya, aku berangkat sekolah dari rumah, namun karena masih dalam keadaan izin sakit. pikiran nakal menggodaku dan aku pun bolos hingga tiga hari berikutnya. Sampai hari keempat ketika quota izin sakit berakhir, ku pustuskan untuk masuk sekolah. Namun aku terlambat dan bolos lagi. Izin sakit masih berlaku pikirku. Namun naas, hari itu teman-teman memutuskan untuk menjengukku sementara aku sebenarnya sudah sembuh dari tiga hari yang lalu. Parahnya, ternyata mereka kebetulan bertemu dan bertanya alamat rumahku pada ayahku yang tak tau apa-apa tentang absennya aku di sekolah, sehingga beliau heran karena beliau tahunya aku pergi ke sekolah. Dan aku pun dimarahin habis-habisan karenanya.
2003. Kost sudah mulai sepi, teman-teman sudah berangkat untuk kuliah pagi hari itu. Dan aku sendiri sengaja meniduri diri lebih lama karena jadwalku agak siang. Namun nyeri menggelitik membangunkan aku dari tempat tidur bertingkat di kostan. Awalnya aku berusaha mengabaikannya namun lama-kelamaan rasa sakitnya mulai menjengkelkan. Dan semakin menyiksa ketika rasa sakitnya semakin semena-mena menjelajahi perutku yang ramping. Obat maag pun sudah ku coba, tapi sakitnya tak kunjung reda. Hingga tengah hari ketika jam masuk kuliahku sudah berjam-jam berlalu, sakitnya tetap tak sudi meninggalkanku. Hingga ku putuskan untuk memerikasakan kondisiku ke poliklinik kampus. Herannya, ketika sampai dan ketika seorang dokter minus senyum akan memeriksa perutku, sakitnya hilang. Yang tersisa hanya ngilu ringan dari penderitaan yang tak tertahankan sebelumnya. Tapi dokter tetap memeriksa ku dan mendiagnosa bahwa itu maag yang semakin akut. pertanyaan-pertanyaan kedokteran standar pun ia lontarkan, dan aku hanya nelangsa antara lega sakitnya hilang dan kecewa bahwa ini dokter tak melalukan mukjizat apa-apa. Tapi bahagianya, pengobatan ini gratis.
Pagi itu, aku terbangun dengan harapan yang sama, harapan yang setiap hari ku bisikkan, semoga hari ini bisa lebih baik dari hari sebelumnya. Ku usap mataku yang sedikit perih dan bangkit dari tempat tidur yang berantakan. 'Ah, badai mimpi memporak-porandakan pembaringan yang sederhana ini semalam', pikirku dengan sedikit senyuman kecit di sudut bibirku. Ku cba mengingat-ingat petualanganku semalam, tapi rasanya mimpi itu terlalu samar. Rasa kantuk berusaha menarik kesadaranku kembali sehingga bangkit dari tempat tidur pagi itu terasa lebih berat dari pagi-pagi sebelumnya. Badanku terasa pegal, seakan setiap persendiannya kaku dan otot-otot di sekujur tubuhku mengencang aneh. Arrrgh, kenapa ini? Aku tak melakukan hal berat kemaren, dan mimpiku pun tak seberat itu hingga menyebabkan otot-ototku aus keletihan. Kucoba melakukan yoga minimalis, namun yang ku ingat hanyalah gerakan peregangan otot ala kucing bangun tidur. Sudahlah, aku pun mengabaikan ketidaknyamanan itu dan menyeret langkahku ke kamar mandi. Sambil terus mengerjap mengadaptasikan mata dengan cahaya pagi yang mulai terang. Aku melangkah gontai. Agak sempoyongan seperti orang mabuk. Aku meraba diriku sendiri dan tersenyum memandangi area menggembung ganjil di bagian depan boxer ku. 'Dia' selalu terjaga lebih awal dariku dan kerap membangunkanku dengan HIV positif di pagi hari. Aku sudah tak tahan lagi menahan hasrat ini. Hasrat Ingin Vipis. Masih terkantuk-kantuk, ku posisikan diri dengan gaya maskulin sejati. Sekali lagi aku bergulat dengan pikiranku sendiri. Pipis di pagi hari yang biasanya senyaman ejakulasi kini sedikit menyakitkan. Ada apa ini? Sejumput kepanikan menggerogoti logikaku. Bibit-bibit paranoid mulai tumbuh, memunculkan kengerian yang kapan saja bisa meledak menjadi kepanikan tak beralasan. Tapi aku berusaha tenang, mencoba mengenali keadaan dengan merunut pikiranku kembali pada hari kemaren. Berusaha mengenang apa yg mungkin membuat aktivitas sekresiku menjadi agak menyakitkan. 'Mungkin ini karena terlalu lama menahan kencing', pikirku mencoba menghibur diri. Kepanikanku berangsur memudar seiring dengan rutinitas pagi yang semakin intens. Ku jelang hari itu dengan do'a dan mimpi terjaga. Seperti obsesi si Brain, 'Aku akan berusaha menguasai dunia.'
Keadaan kembali senormal biasanya pagi itu. Mencoba berkonsentrasi pada tugas yang harus ku lakukan, pada arahan, saran dan perintah yang harus kudengarkan dalam tugas. Kosentrasiku menghiburku, dan semuanya mengalir deras selancar air terjun Niagara. Sampai ketika tengah hari, rasa nyeri mulai mengelitik perutku lagi dan sesuatu yang tak nyaman bersarang di bagian bawah perutku yang membuat seakan-akan aku ingin kencing terus. Tidak sakit, tapi rasanya sungguh sangat tidak nyaman. Aku mencoba tenang. Namun rasa nyeri itu berkembang menjadi sakit yang menusuk pada bagian perut sebelah atas. "Maag sialan!", umpat ku yang semakin tak bisa mengabaikan kekuatan rasa sakit berusaha menarik keasadaranku. Ia semakin menjadi-jadi dan aku pun menyerah. Tak bisa mengabaikannya lagi. Kepura-puraanku pun lenyap. Keringat mulai mengucur dari keningku yang berkerut menahan sensasi rasa perih. Teman-teman pun mulai menjadi semakin intens mempedulikanku. Dan aku hanya mendengarkan intuisiku sendiri. "Obat maag, itulah yang ku butuhkan", pikirku melayang pada kenangan sakit yang sama beberapa tahun lalu. Aku pun menarik diri dari kesibukan dan mulai melirik warung makanan. Ku putuskan untuk menghakiri rutinitas hari itu dan menjambangi toko obat untuk membeli obat maag tumpuan harapan. Dan makan siang...
Selepas siang, sakitnya masih bertahan hingga sore menjelang. Setidaknya aku sudah menenggak empat tablet obat maag hanya dalam empat jam. Sesuatu yang tak seharusnya ku lakukan karena normalnya obat hanya boleh dikonsumsi sekali dalam empat jam. Tapi rasa sakit yang sekarang mulai bergerak agak ke belakang perut itu membuat ku kalap, tak sabaran dengan efek yang terlalu lama dimunculkannya. Efek sembuh yang ku nanti dan tak kunjung datang. Alhasil, aku pun hanya terbaring lemah di tempat tidur. Berbagai posisi untik seperti yoga pun telah ku lakukan untuk mendapatkan posisi yang nyaman untuk sakit ini. Tapi tak berhasil, rasa sakit itu tetap bercokol di sana, bahkan semakin angkuh menggoda syaraf-syaraf ku yang berdenyut ketakutan membawa impuls ke otak. "Oh God, please get it off of me," Erangku sambil terus meliuk-liukkan tubuh seperti ular sedang berganti kulit mencoba untuk meredakan deraan rasa sakit yang makin luar biasa. Tapi ia tetap bersikeras, menyiksa keteguhanku dan mengeringkan kekceriaanku hingga ke dasar. Aku tak lagi bisa tersenyum. Kalau pun ku paksakan yang ada hanyalah senyum getir penuh kepura-puraan.
Aku berusaha menggoda rasa kantuk agar mau memelukku dan membuatku tenang di alam mimpi. Tapi rasa sakit terus menggelitik. Sekarang sakitnya bukan lagi sekedar main-main. Ini pergumulan yang intens antara rasa sakit, kesadaranku dan ketakutan akan sesautu yang makin memburuk. Aku kalap dan terengah-engah bersimbah keringat untuk akhirnya aku menyerah kalah dan memutuskan pasrah. Ku putuskan untuk mengadukan keprihatinanku hari itu ke dokter. Karena sakit ini begiu bandel, ini jalan-satu-satunya. Sekarang atau tidak sama sekali. Dan aku memang sangat ingin tahu kenapa sakit ini tak seperti biasanya, bertahan hingga nuansa jingga menggantung indah di cakrawala senja.
Dengan pakaian 'nyeleneh' tanpa mandi dan hanya bermodalkan aroma parfum, aku pun menguatkan diri untuk memerikasakan diri ke klinik terdekat. Setidaknya itu langkah logis pertama yang harus ku lakukan untuk memastikan penyebab penderitaan ku hari itu. Sekitar sepuluh menit penderitaan extra di atas angkutan umum aku pun sampai di klinik mungil namun bersih di ujung jalan. Terlihat sepi. Aku memberanikan diri untuk masuk dan melihat meja resepsionist yang kosong. Sesaat muncul keraguan namun rasa sakit yang masih menggelitik memecut keberanianku. Dengan suara parau ku teriakkan kata permisi sesopan dan selantang mungkin. Dengan langkah tergesa-gesa muncul seorang wanita paro baya yang lumayan cantik, bonus hiburan untuk hari yang memprihatinkan bagiku. Dan ku mulai berkeluh kesah padanya, namun sebelum penjelasan ku selesai ia sudah mempersilahkanku langsung masuk ke ruang periksa.
"Silahkan, dokter sudah menunggu anda", ucapnya dengan ramah dan menunjukkan pintu ruang periksa. Aku pun tersenyum dan beranjak menuju ruangan itu dengan gerak terlihat lebih membungk menahan rasa sakit
dari sebelumnya. Ku dorong pintu kaca itu dan melihat seorang dokter gemuk yang terlihat kurang meyakinkan. Ia sedang sibuk bermain Blackberry ketika aku melongok kedalam ruangan itu, dan masih sambil memencet-mencet keypad BB-nya ketika mempersilahkan aku duduk. Aku semakin nelangsa melihatnya. Setelah seaat menunggu, akhirnya dia mengalihkan perhatian pada ku dan memesang stetoskopnya dan bertanya sambil memperlihatkansenyum basa-basinya.
"Ada keluhan apa?"
"Ini dok. Saya sakit perut, tadinya sakit di sebelah sini tapi rasanya sekarang bergerak kearah belakang perut sini dok. Kira-kira kenapa ya Dok. Rasa sakit ini bisa dihilangkan ga dok, saya sudah tak tahan...." Aku mulai menceritakan kronologisnya sambil menunjuk-nunjuk perut dan meringis dalam usaha menunjukkan bahwa sakitnya tak main-main.
"Baik. Silahkan ke kamar periksa. Duduk di pembaringan itu. Silahkan..."
Baik dok..." Kali ini aku jalan lebih membungkuk dari sebelum aku memasuki ruangan itu, lebih terkesan ingin menunjukkan bahwa saya memang harus ditolong.
Sang dokter membawa peralatannya dan menghampiriku yang duduk santai sambil menahan sakityang gagal membuatku terlihat santai. Ia mengukur tekanan arah dan detakjantungku. Prosedur standar kurasa. kemudian perhatiannya baru tertuju pada keluhanku sebelumnya.
"Maaf, tolong diangkat bajunya." Dan ia mulai memukul-mukul perut hingga ke punggungku. Ia memukul dan menekan-nekan kulitku seakan mencari sesuatu di sana.
"Ini sakit? ...ini? ...kalo ini?" Ia terus memukul-mukul pelan samapai yakin bahwa daerah di bagian punggung sebelah kanan bawahlah area yang diyakininya dan tangannya tetap menekan-nekan area itu. Sementara aku meringis pelan setiap ia menekannya.
Dan ia pun pergi meninggalkanku dan menulis sesuatu di sevarikkertas di mejanya. Aku hanya terpana sambil tetap duduk sesantai mungkin di ruang periksa. Sampai ketika ia memanggilku dan menyakinkanku bahwa pemerikasaannya sudah selesai.
Aku mendapatinya masih sedang menuliskan sesuatu di meja kerjanya sementara aku diduk di kursi yang disediakan di hadapannya.
"Bagaimana Dok...?" Tanyaku berusaha memecah kesunyian dan memenuhi rasa ingin tahu ku.
Masih sibuk dengan tulisannya yang tak terbaca, kemudian ia menatapku dan sedikit tersenyum.
"Ini ginjal anda. Kalau anda tidak menjaga pola makan dan minum anda, anada akan kehilangan ginjal kanan anda..."
Aku terhenyak untuk sesaan mencerna penjelasan sang dokter yang bernada ancaman.
"Jadi bagaimana kondisinya Dok? Apa rasa sakitnya bisa dihilangkan dengan obat apa gitu..." tanyaku naif.
"Ya anda harus banyak minum air putih, minimal dua botol aqua 1 liter setiap hari. Dan tak boleh minum kopi, anda mengopi kan...?" selidiknya. dan aku mengangguk.
"Jadi begitulah. Tak boleh minum kopi, minuman bergas, asam, yang pedas-pedas, dan kurangi junkfood..."
Aku langsuk mengangguk patuh. Sementara rasa sakitnya masih bertahan di sana, di ginjal kananku.
"Jadi rasa sakitnya bisa hilang kan dok, sekarang masih perih nih..."
"Iya, nanti saya resepkan obatnya... Jangan lupa untuk menjaga pola makan anda karena disana lah kuncinya. Itu kalo anda tak mau kehilangan ginjal anda. Pertamanya masih gejala seperti ini, kemudian bisa menjadi batu ginjal dan akhirnya gagal ginjal. Anda mau menghabiskan sisia hidup anda dega cuci darah..." ancam dokter itu sambil tersenyum.
Aku meringis membayangkan kemungkinan-kemungkinan itu. Dokter ini memang tidak main-main. Ia menanamkan semacam ketakutan yang merembes pelan kedalam celah-celah hati dan memoriku. Kilasan-kilasan kengerian pun menjangkau otakku dan membuatku semakin pucat.
"Baik. Itu saja... ini resepnya, silahkan ditebus. Dan ingat, banyak minum air putih. Semoga cepat sembuh..." Ia memberikan secarik kertas dengan tulisan asalan yang nyeleneh. Ku ambil kertas itu dan langsung menebus obatnya untuk kemudian pulang dengan kengerian baru yang lebih besar dan mencekam. Rasa sakit yang masih bertahan di ginjalku sekarang tak berarti apa-apa karena ketakutan mengalihkan segenap kesadaranku pada kenyataan bahwa aku telah mengabaikan kesehatanku selama ini. Semua larangan itu kebiasaanku dan sakit ini adalah konsekwensinya. Ancaman sang dokter masih menggema di kepalaku dan bayangan-bayangan mengerikan membuat efeknya semakin masif menguasai ketakutanku. Namun aku berjanji, jika gejala saja sakitnya sudah seluar biasa hari ini, bagaimana jika sudah akut? Tak terbayangkan. Aku harus membenahi diri dak kebiasaanku. Ini untuk aku dan keadaan yang lebih baik. Dan satu lagi, sakit itu mahal.
1997. Pagi itu aku semalas biasanya menjalani ritual pagi yang monoton. Mandi pagi, pakai seragam putih abu-abu kebanggaan, dan krasak-krusuk menyiapkan keperluan sekolah. Sebelum sarapan, sakit itu sudah menyerang. Awalnya hanya perih yang bisa diabaikan tapi kemudian semakin menjadi, nyeri dan menyentak hingga ke hulu hati. Aku panik, ini pertama kalinya sakit seperti ini menderaku. Aku berusaha mengabaikan waktu yang semakin bergulir ke siang. Pagi semakin pucat, sepucat wajahku yang mulai berkeringat menahan perih. Aku mencoba untuk kembali tidur di pembaringan yang belum dirapikan, tapi rasa sakitnya membuatku terus terjaga dan mengerang hingga pertengahan hari ketika rasa sakitnya hilang dengan sendirinya. Dan sekolah pun bolos pada hari itu. Hingga besoknya, aku berangkat sekolah dari rumah, namun karena masih dalam keadaan izin sakit. pikiran nakal menggodaku dan aku pun bolos hingga tiga hari berikutnya. Sampai hari keempat ketika quota izin sakit berakhir, ku pustuskan untuk masuk sekolah. Namun aku terlambat dan bolos lagi. Izin sakit masih berlaku pikirku. Namun naas, hari itu teman-teman memutuskan untuk menjengukku sementara aku sebenarnya sudah sembuh dari tiga hari yang lalu. Parahnya, ternyata mereka kebetulan bertemu dan bertanya alamat rumahku pada ayahku yang tak tau apa-apa tentang absennya aku di sekolah, sehingga beliau heran karena beliau tahunya aku pergi ke sekolah. Dan aku pun dimarahin habis-habisan karenanya.
2003. Kost sudah mulai sepi, teman-teman sudah berangkat untuk kuliah pagi hari itu. Dan aku sendiri sengaja meniduri diri lebih lama karena jadwalku agak siang. Namun nyeri menggelitik membangunkan aku dari tempat tidur bertingkat di kostan. Awalnya aku berusaha mengabaikannya namun lama-kelamaan rasa sakitnya mulai menjengkelkan. Dan semakin menyiksa ketika rasa sakitnya semakin semena-mena menjelajahi perutku yang ramping. Obat maag pun sudah ku coba, tapi sakitnya tak kunjung reda. Hingga tengah hari ketika jam masuk kuliahku sudah berjam-jam berlalu, sakitnya tetap tak sudi meninggalkanku. Hingga ku putuskan untuk memerikasakan kondisiku ke poliklinik kampus. Herannya, ketika sampai dan ketika seorang dokter minus senyum akan memeriksa perutku, sakitnya hilang. Yang tersisa hanya ngilu ringan dari penderitaan yang tak tertahankan sebelumnya. Tapi dokter tetap memeriksa ku dan mendiagnosa bahwa itu maag yang semakin akut. pertanyaan-pertanyaan kedokteran standar pun ia lontarkan, dan aku hanya nelangsa antara lega sakitnya hilang dan kecewa bahwa ini dokter tak melalukan mukjizat apa-apa. Tapi bahagianya, pengobatan ini gratis.
Pagi itu, aku terbangun dengan harapan yang sama, harapan yang setiap hari ku bisikkan, semoga hari ini bisa lebih baik dari hari sebelumnya. Ku usap mataku yang sedikit perih dan bangkit dari tempat tidur yang berantakan. 'Ah, badai mimpi memporak-porandakan pembaringan yang sederhana ini semalam', pikirku dengan sedikit senyuman kecit di sudut bibirku. Ku cba mengingat-ingat petualanganku semalam, tapi rasanya mimpi itu terlalu samar. Rasa kantuk berusaha menarik kesadaranku kembali sehingga bangkit dari tempat tidur pagi itu terasa lebih berat dari pagi-pagi sebelumnya. Badanku terasa pegal, seakan setiap persendiannya kaku dan otot-otot di sekujur tubuhku mengencang aneh. Arrrgh, kenapa ini? Aku tak melakukan hal berat kemaren, dan mimpiku pun tak seberat itu hingga menyebabkan otot-ototku aus keletihan. Kucoba melakukan yoga minimalis, namun yang ku ingat hanyalah gerakan peregangan otot ala kucing bangun tidur. Sudahlah, aku pun mengabaikan ketidaknyamanan itu dan menyeret langkahku ke kamar mandi. Sambil terus mengerjap mengadaptasikan mata dengan cahaya pagi yang mulai terang. Aku melangkah gontai. Agak sempoyongan seperti orang mabuk. Aku meraba diriku sendiri dan tersenyum memandangi area menggembung ganjil di bagian depan boxer ku. 'Dia' selalu terjaga lebih awal dariku dan kerap membangunkanku dengan HIV positif di pagi hari. Aku sudah tak tahan lagi menahan hasrat ini. Hasrat Ingin Vipis. Masih terkantuk-kantuk, ku posisikan diri dengan gaya maskulin sejati. Sekali lagi aku bergulat dengan pikiranku sendiri. Pipis di pagi hari yang biasanya senyaman ejakulasi kini sedikit menyakitkan. Ada apa ini? Sejumput kepanikan menggerogoti logikaku. Bibit-bibit paranoid mulai tumbuh, memunculkan kengerian yang kapan saja bisa meledak menjadi kepanikan tak beralasan. Tapi aku berusaha tenang, mencoba mengenali keadaan dengan merunut pikiranku kembali pada hari kemaren. Berusaha mengenang apa yg mungkin membuat aktivitas sekresiku menjadi agak menyakitkan. 'Mungkin ini karena terlalu lama menahan kencing', pikirku mencoba menghibur diri. Kepanikanku berangsur memudar seiring dengan rutinitas pagi yang semakin intens. Ku jelang hari itu dengan do'a dan mimpi terjaga. Seperti obsesi si Brain, 'Aku akan berusaha menguasai dunia.'
Keadaan kembali senormal biasanya pagi itu. Mencoba berkonsentrasi pada tugas yang harus ku lakukan, pada arahan, saran dan perintah yang harus kudengarkan dalam tugas. Kosentrasiku menghiburku, dan semuanya mengalir deras selancar air terjun Niagara. Sampai ketika tengah hari, rasa nyeri mulai mengelitik perutku lagi dan sesuatu yang tak nyaman bersarang di bagian bawah perutku yang membuat seakan-akan aku ingin kencing terus. Tidak sakit, tapi rasanya sungguh sangat tidak nyaman. Aku mencoba tenang. Namun rasa nyeri itu berkembang menjadi sakit yang menusuk pada bagian perut sebelah atas. "Maag sialan!", umpat ku yang semakin tak bisa mengabaikan kekuatan rasa sakit berusaha menarik keasadaranku. Ia semakin menjadi-jadi dan aku pun menyerah. Tak bisa mengabaikannya lagi. Kepura-puraanku pun lenyap. Keringat mulai mengucur dari keningku yang berkerut menahan sensasi rasa perih. Teman-teman pun mulai menjadi semakin intens mempedulikanku. Dan aku hanya mendengarkan intuisiku sendiri. "Obat maag, itulah yang ku butuhkan", pikirku melayang pada kenangan sakit yang sama beberapa tahun lalu. Aku pun menarik diri dari kesibukan dan mulai melirik warung makanan. Ku putuskan untuk menghakiri rutinitas hari itu dan menjambangi toko obat untuk membeli obat maag tumpuan harapan. Dan makan siang...
Selepas siang, sakitnya masih bertahan hingga sore menjelang. Setidaknya aku sudah menenggak empat tablet obat maag hanya dalam empat jam. Sesuatu yang tak seharusnya ku lakukan karena normalnya obat hanya boleh dikonsumsi sekali dalam empat jam. Tapi rasa sakit yang sekarang mulai bergerak agak ke belakang perut itu membuat ku kalap, tak sabaran dengan efek yang terlalu lama dimunculkannya. Efek sembuh yang ku nanti dan tak kunjung datang. Alhasil, aku pun hanya terbaring lemah di tempat tidur. Berbagai posisi untik seperti yoga pun telah ku lakukan untuk mendapatkan posisi yang nyaman untuk sakit ini. Tapi tak berhasil, rasa sakit itu tetap bercokol di sana, bahkan semakin angkuh menggoda syaraf-syaraf ku yang berdenyut ketakutan membawa impuls ke otak. "Oh God, please get it off of me," Erangku sambil terus meliuk-liukkan tubuh seperti ular sedang berganti kulit mencoba untuk meredakan deraan rasa sakit yang makin luar biasa. Tapi ia tetap bersikeras, menyiksa keteguhanku dan mengeringkan kekceriaanku hingga ke dasar. Aku tak lagi bisa tersenyum. Kalau pun ku paksakan yang ada hanyalah senyum getir penuh kepura-puraan.
Aku berusaha menggoda rasa kantuk agar mau memelukku dan membuatku tenang di alam mimpi. Tapi rasa sakit terus menggelitik. Sekarang sakitnya bukan lagi sekedar main-main. Ini pergumulan yang intens antara rasa sakit, kesadaranku dan ketakutan akan sesautu yang makin memburuk. Aku kalap dan terengah-engah bersimbah keringat untuk akhirnya aku menyerah kalah dan memutuskan pasrah. Ku putuskan untuk mengadukan keprihatinanku hari itu ke dokter. Karena sakit ini begiu bandel, ini jalan-satu-satunya. Sekarang atau tidak sama sekali. Dan aku memang sangat ingin tahu kenapa sakit ini tak seperti biasanya, bertahan hingga nuansa jingga menggantung indah di cakrawala senja.
Dengan pakaian 'nyeleneh' tanpa mandi dan hanya bermodalkan aroma parfum, aku pun menguatkan diri untuk memerikasakan diri ke klinik terdekat. Setidaknya itu langkah logis pertama yang harus ku lakukan untuk memastikan penyebab penderitaan ku hari itu. Sekitar sepuluh menit penderitaan extra di atas angkutan umum aku pun sampai di klinik mungil namun bersih di ujung jalan. Terlihat sepi. Aku memberanikan diri untuk masuk dan melihat meja resepsionist yang kosong. Sesaat muncul keraguan namun rasa sakit yang masih menggelitik memecut keberanianku. Dengan suara parau ku teriakkan kata permisi sesopan dan selantang mungkin. Dengan langkah tergesa-gesa muncul seorang wanita paro baya yang lumayan cantik, bonus hiburan untuk hari yang memprihatinkan bagiku. Dan ku mulai berkeluh kesah padanya, namun sebelum penjelasan ku selesai ia sudah mempersilahkanku langsung masuk ke ruang periksa.
"Silahkan, dokter sudah menunggu anda", ucapnya dengan ramah dan menunjukkan pintu ruang periksa. Aku pun tersenyum dan beranjak menuju ruangan itu dengan gerak terlihat lebih membungk menahan rasa sakit
dari sebelumnya. Ku dorong pintu kaca itu dan melihat seorang dokter gemuk yang terlihat kurang meyakinkan. Ia sedang sibuk bermain Blackberry ketika aku melongok kedalam ruangan itu, dan masih sambil memencet-mencet keypad BB-nya ketika mempersilahkan aku duduk. Aku semakin nelangsa melihatnya. Setelah seaat menunggu, akhirnya dia mengalihkan perhatian pada ku dan memesang stetoskopnya dan bertanya sambil memperlihatkansenyum basa-basinya.
"Ada keluhan apa?"
"Ini dok. Saya sakit perut, tadinya sakit di sebelah sini tapi rasanya sekarang bergerak kearah belakang perut sini dok. Kira-kira kenapa ya Dok. Rasa sakit ini bisa dihilangkan ga dok, saya sudah tak tahan...." Aku mulai menceritakan kronologisnya sambil menunjuk-nunjuk perut dan meringis dalam usaha menunjukkan bahwa sakitnya tak main-main.
"Baik. Silahkan ke kamar periksa. Duduk di pembaringan itu. Silahkan..."
Baik dok..." Kali ini aku jalan lebih membungkuk dari sebelum aku memasuki ruangan itu, lebih terkesan ingin menunjukkan bahwa saya memang harus ditolong.
Sang dokter membawa peralatannya dan menghampiriku yang duduk santai sambil menahan sakityang gagal membuatku terlihat santai. Ia mengukur tekanan arah dan detakjantungku. Prosedur standar kurasa. kemudian perhatiannya baru tertuju pada keluhanku sebelumnya.
"Maaf, tolong diangkat bajunya." Dan ia mulai memukul-mukul perut hingga ke punggungku. Ia memukul dan menekan-nekan kulitku seakan mencari sesuatu di sana.
"Ini sakit? ...ini? ...kalo ini?" Ia terus memukul-mukul pelan samapai yakin bahwa daerah di bagian punggung sebelah kanan bawahlah area yang diyakininya dan tangannya tetap menekan-nekan area itu. Sementara aku meringis pelan setiap ia menekannya.
Dan ia pun pergi meninggalkanku dan menulis sesuatu di sevarikkertas di mejanya. Aku hanya terpana sambil tetap duduk sesantai mungkin di ruang periksa. Sampai ketika ia memanggilku dan menyakinkanku bahwa pemerikasaannya sudah selesai.
Aku mendapatinya masih sedang menuliskan sesuatu di meja kerjanya sementara aku diduk di kursi yang disediakan di hadapannya.
"Bagaimana Dok...?" Tanyaku berusaha memecah kesunyian dan memenuhi rasa ingin tahu ku.
Masih sibuk dengan tulisannya yang tak terbaca, kemudian ia menatapku dan sedikit tersenyum.
"Ini ginjal anda. Kalau anda tidak menjaga pola makan dan minum anda, anada akan kehilangan ginjal kanan anda..."
Aku terhenyak untuk sesaan mencerna penjelasan sang dokter yang bernada ancaman.
"Jadi bagaimana kondisinya Dok? Apa rasa sakitnya bisa dihilangkan dengan obat apa gitu..." tanyaku naif.
"Ya anda harus banyak minum air putih, minimal dua botol aqua 1 liter setiap hari. Dan tak boleh minum kopi, anda mengopi kan...?" selidiknya. dan aku mengangguk.
"Jadi begitulah. Tak boleh minum kopi, minuman bergas, asam, yang pedas-pedas, dan kurangi junkfood..."
Aku langsuk mengangguk patuh. Sementara rasa sakitnya masih bertahan di sana, di ginjal kananku.
"Jadi rasa sakitnya bisa hilang kan dok, sekarang masih perih nih..."
"Iya, nanti saya resepkan obatnya... Jangan lupa untuk menjaga pola makan anda karena disana lah kuncinya. Itu kalo anda tak mau kehilangan ginjal anda. Pertamanya masih gejala seperti ini, kemudian bisa menjadi batu ginjal dan akhirnya gagal ginjal. Anda mau menghabiskan sisia hidup anda dega cuci darah..." ancam dokter itu sambil tersenyum.
Aku meringis membayangkan kemungkinan-kemungkinan itu. Dokter ini memang tidak main-main. Ia menanamkan semacam ketakutan yang merembes pelan kedalam celah-celah hati dan memoriku. Kilasan-kilasan kengerian pun menjangkau otakku dan membuatku semakin pucat.
"Baik. Itu saja... ini resepnya, silahkan ditebus. Dan ingat, banyak minum air putih. Semoga cepat sembuh..." Ia memberikan secarik kertas dengan tulisan asalan yang nyeleneh. Ku ambil kertas itu dan langsung menebus obatnya untuk kemudian pulang dengan kengerian baru yang lebih besar dan mencekam. Rasa sakit yang masih bertahan di ginjalku sekarang tak berarti apa-apa karena ketakutan mengalihkan segenap kesadaranku pada kenyataan bahwa aku telah mengabaikan kesehatanku selama ini. Semua larangan itu kebiasaanku dan sakit ini adalah konsekwensinya. Ancaman sang dokter masih menggema di kepalaku dan bayangan-bayangan mengerikan membuat efeknya semakin masif menguasai ketakutanku. Namun aku berjanji, jika gejala saja sakitnya sudah seluar biasa hari ini, bagaimana jika sudah akut? Tak terbayangkan. Aku harus membenahi diri dak kebiasaanku. Ini untuk aku dan keadaan yang lebih baik. Dan satu lagi, sakit itu mahal.
SOCIALIZE IT →