Kepalaku dipusingkan oleh urusan-urusan penting yang tak penting.
Pikiran ku seperti dililit sulur-sulur liar kemungkinan yang berduri tajam, mencekik keceriaan ku hingga membuat nafasku tersengal semakin sesak, serak
berteriak. Pilihan-pilihan itu membingungkan ku. Membuatku mabuk tanpa alkohol
dan pusing tanpa injeksi zat adiktif apapun ke saraf ku. Di persimpangan ini,
sungguh aku tak tahu harus menatap ke arah mana. Tak tahu harus memilih pilihan
yang mana. Pada hal aku baru memulai meretas bahagia menaburkan
benih-benih cinta pada apa yang sudah dipertaggungjawabkan padaku. Tapi
tunas-tunas hijau itu terkulai layu tak berdaya diguyur hujan beraroma
penolakan yang merembeskan sensasi kecewa ke pori-pori hati yang tadinya
tersugesti. Frase sederhana semisal “you can stand by at home tomorrow” terasa
berat menindih semangatku. Kalimat itu terus terngiang di telingaku hingga
tangan-tangan dingin sang malam memeluk bumi. Aku tak habis pikir. Apa hanya karena kelalaian mini itu,
yang aku dan mereka sama-sama tahu situasinya? Tidur siang tanpa mimpi itu
menghancurkan 'mimpi'ku akan harapan yang telah ku nanti selama berbulan-bulan
terdampar di padang kesia-siaan ini. Aku bahkan sudah terlalu sering ditipu dan tetap terlalu naïf masih mau menggantungkan harapan pada kebohongan yang
jenius, sehingga yang ku dapati pun hanya kehidupan penuh kebonhongan sejauh
ini. Hingga detik ini.
Benar. Aku tak mengerti frase itu. Mereka membodohiku
seakan-akan aku hanyalah seekor simpanse yang berjuang hidup menghindari garis
kepunahan yang semakin jelas. Bahkan IQ ku dua kali lebih tinggi dari primata
tercedas sekali pun, selangkah mendekati kejeniusan Einstein dan hampir
menyamai sensasionalitas Madonna. Dan pastinya, jelas aku lebih cerdas
dari mereka. Tapi kenyataannya, aku tampak bodoh di sudut terjauh dunia tanpa
toleransi ini, dimana menara-menara keangkuhan berdiri kokoh enantang langit dan membutakan persaudaraan dan cinta. Aku terkulai lemah tak berdaya, terkapar di bawah tindihan tubuh
gemuk-legam sang takdir yang sinis. Hatiku teriris perih tangan-tangan kasat
mata bejari kurus dan berkuku tajam. Namun aku tak bias berteriak karena sesak,
dan mulutku tersumpal jasa baik jiwa-jiwa berwajah mendua.
Menyakitkan. Ya, suatu waktu aku merasa dunia bagaikan
penjara tak berjeruji namun cukup bisa mengungkung keceriaanku dan membuat
hidup fana ini terasa semakin berat membebani pikiran. Ignorance has always
been hurting me than everything else in life. Aku memang tak pintar berkata
manis hanya agar aku diperhatikan. Dan aku paling anti menjilat kesetiaan dan
memungut serpihan–serpihan jejak kaki seseorang hanya untuk mendapatkan arti di
mata orang-orang ‘beruntung’ ini. Tapi apakah itu yag membuat aku terabaikan?
Ada tapi dianggap tak ada. Membuat aku bagaikan serpihan buih yang memutihkan
ombak di belakang kemewahan kapal pesiar yang melaju. Terhempas, hilang dan
terabaikan. Sesasinya terasa ngilu di hati sehingga menjatuhkan kepercayaan
diri hingga ke level mengkhawatirkan. Membuatku meringkuk nelangsa bersimbah
galau dengan luka-luka gores yang kembali perih berdarah seperti pengalaman
masa lalu. Ini seperti echo antar dimensi. History has repeated its self.
Luka lama berdarah kembali.
Aku sudah membuktikan diri dengan otak bukan dengan
pencitraan. Namun seperti dinansti yang memerintah dalam kurun waktu sejarah
berbeda di negeri ini, orang-orang memang lebih senang melihat yang indah tapi
palsu dari pada sebuah kenyataan tak meyakinkan. Cenderung dibutakan oleh
‘speak’ dan hegemoni. Bahkan mungkin mereka tak pernah mengnal kata hegemoni
walau mereka senantiasa direcoki oleh ujaran membius yang membuat mereka
dilenakan oleh esensi imitasi dalam ujaran-ujaran itu. Hanya saja aku tak
berani menghakimi mereka. Akutak lebih baik dari siapa pun meski pemaparanku
terkadang hanya satu inci dari kebenaran. Aku tak mau egois walau pun aku lebih
sering terlihat egois. Ini sudah lebih manusiawi dari pada berupaya mengakui
bahwa kebenaran itu mutlak. Ini hanya masalah persepsi yang objektif. I’m
trying to be objective…
“Kebanyakan orang melihat dunia sesuai dengan keinginannya,
ketika itulah kebijaksanaan dibutuhkan untuk memperluas sudut pandangnya.”
SOCIALIZE IT →